Monday, September 11, 2017

Teori Kebahagian (Eudomunisme) Aristoteles

Kebahagiaan: Telaah Etika Eudemonisme Aristoteles
Menuju aktualisasi: menuju kebahagiaan.
Sebuah tinjauan filosofis mengenai etika Eudemonisme Aristoteles

“...lalu, Sophie berjingkat menuju kamar tidur ibunya. Meskipun ibunya sedang pulas tidur, Sophie meletakkan sebelah tangannya ke dahi wanita itu.
“ibu salah seorang yang paling beruntung,” katanya,
“sebab ibu bukan sekedar hidup seperti bunga bakung di kebun. Dan ibu bukan pula sekadar mahkluk hidup seperti Sherekan dan Govinda (duaekor anjing piaraan Sophie). Ibu adalah manusia, dan kerananya memiliki kemampuan berpikir yang langka.”
“...manusia adalah binatang yang berpikir. Jika ibu tidak berpikir, ibu bukanlah manusia sungguhan.”[1] 

Sepenggal cerita dari novel di atas menggambarkan sebuah pemikiran akan hakikat manusia, yang menjadi asas hakiki seorang manusia. Seorang manusia yang dengannya disebut sebagai manusia, sesuatu yang membedakannya dari mahkluk hidup lain. Apa yang membedakan manusia dari mahkluk hidup yang lain? Dari penggalan novel di atas nampak bahwa apa yang membedakan manusia dari mahkluk hidup yang lainnya yakni kemampuan untuk berpikir. Ya, berpikir secara logis. Sehingga bila manusia tidak berpikir maka ia mengkhianati hakikatnya. Pengkhianatan pada hakikatnya menjadikan manusia bukanlah sebagai manusia yang utuh. Dengan berpikir manusia menghidupi hakikatnya sekaligus mengembangkan potensi (kemampuan)-nya sebagai manusia.Memang sepenggal cerita dari novel tersebut merupakan pencerminan akan pemikiran Aristoteles. Pembahasan dalam paper ini berangkat dengan sebuah kegelisahan akan sebuah kebahagiaan, secara khusus kebahagiaan dalam konteks pemikiran Aristoteles. Apa itu kebahagiaan? Dalam hal apa kebahagiaan itu akan diterima? Apakah kebahagiaan itu dapat “diterima” di dunia ini?
Menuju Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira putra Nikomakhus, seorang tabib yang bekerja sebagai tabib pribadi raja Amyntas III dari Makedonia pada tahun 384 SM. Ia pergi ke Athena pada tahun 367 SM demi keamanan dan untuk belajar, mengingat Amyntas dibunuh tahun 369 SM dan Nikomakhus juga wafat. Ia belajar kepada Plato selama 20 tahun. Pada tahun 348/347 SM Aristoteles meninggalkan Athena menuju Atarneus karena alasan adanya sentimen anti-Makedonia karena dikuasainya Olynthus, sebuah kota yang bersekutu dengan Athena. 347-345 SM ia bergabung dengan Erastus dan Koriskus dengan perlindungan penguasa Hermias. Mereka ditempatkan di Assos dan Aristoteles menikah dengan Pythias, salah seorang kemenakan Hermias. Tahun 345/344 SM ia pindah Mytilene di Lesbos kemudian pindah ke Makedonia (343/2SM). Ia menjadi pendidik Iskandar Agung muda putra raja Philippus dari Makedonia. Ia kembali ke Athena pada tahun 335 SM dan membangun sekolah namanyaLykaion. Sepeninggal Iskandar Agung, Aristoteles meninggalkan Athena dan pergi ke Kalkis di Euboea. Hal ini dikarenakan pemberontakan orang Athena terhadap makedonia. Aristoteles difitnah menyebarkan ateisme.[2] Pada tahun 322 SMAristoteles wafat di Kalkis.[3]
Aristoteles merupakan filsuf yang mencari kebenaran di dalam alam ini. Hal inilah yang membedakannya dari gurunya Plato. Aristoteles tidak sependapat dengan gagasan Plato tentang adanya dunia idea yang sempurna dan tak berubah. Memang Platoberhasil menjawab kebingungan mengenai hubungan antara dunia yang berubah dan dunia yang tak berubah, namun ia jatuh pada penempatan dunia idea sebagai yang dunia “real” atau sebenarnya. Ajaran Plato tentang dunia idea merupakan interpretasi yang salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris.[4] Dengan kemampuan akal budi manusia membentuk abstraksi dari realitas empiris. Aristoteles menginsafi bahwa manusia memiliki kemampuan bawaan, bukan pengetahuan bawaan yang dipikirkan dalam filsafat Plato. Kemampuan bawaan itu menerima aktualisasinya dengan pengalaman inderawi. Orang melihat kucing satu dan kucing yang lain, yang berbeda. Kemudian manusia menyusun kategori-kategori tentang kucing.
Menuju Etika Aristoteles: Eudemonisme
Berbicara tentang etika, apa yang baik, Aristoteles berangkat dari pengamatan bahwa aktivitas yang dilakukan manusia senantiasa dilakukan demi suatu tujuan bernilai. "Setiap seni dan setiap penelaahan, dan demikian pula setiap tindakan dan pencarian, dianggap bertujuan pada suatu kebaikan; dan karena alasan ini yang baik dengan tepat telah dinyatakan sebagai apa yang dituju oleh segala sesuatu”. Kita makan, tidur, berangkat kerja, mengikuti kuliya, berkunjung (silaturrahmi), atau menonton pertandingan sepak bola; kita selalu melakukannya demi suatu maksud, tujuan. Kita makan, untuk menghilangkan rasa lapar, kita nonton sepak bola, karena kita ngefan sama personilnya dan permainan cantiknya atau menonton bola kerena maksud memperkuat ikatan persekawan para pecinta sepak bola, seseorang melakukan penipuan dan manipulasi, untuk mendapatkan uang, masih banyak tindakan-tindakan lain yang memuat tujuan yang berbeda-beda. Tujuan dari segala sesuatu adalah penyempurnaan dirinya. Aristoteles membedakan tujuan dalam dua macam yakni tujuan yang diusahakan demi tujuan lain lagi dan tujuan yang diusahakan demi dirinya sendiri. Tujuan yang kedua inilah yang seharusnya menjadi nilai tertinggi yang harus diusahakan. Apakah nilai tertinggi itu? Nilai tertinggi itu ialah kebahagiaan(eudaimonia). Nilai tertinggi yang harus dicari ialah tujuan terakhir dari semua tindakan tujuan sementara.   Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah nilai tertinggi (Yang Baik) dengan pertimbangan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dalam dirinya sendiri, karena kebahagianlah yang dicari demi dirinya sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain lagi.[5] Kebahagian adalah tujuan terakhir, di mana ketika manusia sudah bahagia ia tidak memerlukan apa-apa lagi.
Dimana dan bagimana mencapai kebahagiaan? Dalam menjawab pertanyaan ini berbeda antara pemikiran Plato dan Aristoteles (idea dan empiris), di mana Plato meletakan pencapaian kebahagiaan itu di dunia idea dan dengan cara kembalinya atau menyatunya manusia dengan idea. Sedangkan Aristoteles meletakkannya di dunia “ini” dan dengan cara mengembangkan potensi (hakikat) manusia dalam sebuah polis.Aristoteles menjelaskan “Bila kita menyatakan bahwa fungsi manusia adalah suatu bentuk kehidupan tertentu, dan mendefinisikan bentuk kehidupan itu sebagai penggunaan daya kemampuan dan aktivitas jiwa dalam kaitannya dengan prinsip rasional, dan mengatakan bahwa fungsi dari seseorang yang baik adalah melakukan aktivitas-aktivitas ini dengan baik dan benar, dan bila suatu fungsi dilaksanakan dengan baik apabila ia dilaksanakan sesuai dengan kesempurnaannya masing-masing – dari premis-premis ini dapatlah dikatakan bahwa - Kebaikan manusia adalah pelaksanaan secara aktif kemampuan-kemampuan jiwanya sesuai dengan kesempurnaan atau kebajikan, atau bila ada beberapa kesempurnaan atau kebajikan manusia, sesuai dengan yang terbaik dan yang paling sempurna di antara semuanya”.[6] 
Kebahagiaan terdapat dalam kegiatan kita di mana dengan aktif kita mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam manusia. Potensi-potensi yang dikembangkan harusnya adalah potensi khas (yang hanya dimiliki oleh manusia) manusia. Aktivitas yang membawa kepada kebahagiaan ialah aktivitas yang khusus dan mengakibatkan kesempurnaannya. Sesuatu mencapai kesempurnaan bukan hanya karena ia memiliki potensi saja namun karena potensi itu telah mencapai aktualisasinya.[7] Kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan hanya dengan potensialitas saja. Yang khas manusia ialah akal budi , rasio. Jadi kebahagiaan itu ada dalam kegiatan yang menggiatkan, yang dengannya menjadi berkembangnya, bagian jiwa kita yang berakal budi. Jiwa adalah aktus pertama yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup.[8] Dalam kebahagiaan itu, harusnya, terjadi pula perasaan senang (pleasure) atau perasaan bahagia yang subyektif. Memang tidak dapat disamakan kebahagiaan dengan kesenangan, namun itu merupakan unsur yang mengikuti. Merasa senang dalam kebahagiaan, yakni dalam pengaktualisasian potensi manusiawi. Manusia dapat bahagia bukan dengan jalan pasif, melainkan aktif dan yang harus diaktifkan adalah kemampuan khas manusia, akal budi.[9]  
Apakah kita akan bahagia? Aristoteles menjawab “itu tergantung dari pola hidup yang dijalani”. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga pola hidup manusia yakni pola hidup mengejar nikmat, pola hidup politis (hidup aktif dengan berpartisipasi dalam kehidupan polis – praxis) dan pola hidup kontemplatif (filosof – theoria). Aristoteles mengakui dua pola hidup terakhir sebagai pola hidup yang mengarahkan manusia kepada kebahagiaan, tujuan akhir. Aristoteles tidak menolak perasaan nikmat sabagai tujuan, namun itu tidak dapat dikatakan sebagai tujuan terakhir. Dengan kata lain manusia akan mencapai kebahagiaan dalam hidup “politis” (sosial-etis) dan dalam filsafat.
Praxis adalah kehidupan etis yang terwujud melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat.[10] Memang praxis adalah segala tindakan yang dilakukan demi dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dalam kehidupan komunitas. Karena manusia adalah mahkluk sosial (zoon politikon), ia dapat menemukan dirinya dan menggiatkan potensinya dalam masyarakat. Tindakan-tindakan itu dilakukan dalam struktur masyarakat demi kehidupan yang baik. Theoria merupakan tindakan yang berupaya memandang realitas-realitas rohani yang dimungkin hanya dengan menggunakan bagian manusia yang roh. Manusia adalah zoon logon echon.[11]Maka kebahagiaan tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi baik secara murni dalam kontemplasi filosofis dan dengan secara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas. Berarti ada dua aktivitas, yang dipandang oleh Aristoteles, yang dalam aktivitasnya menggiatkan akal budinya.   
Karena yang ditekankan mengenai tindakan atau kegiatan manusia maka mau tidak mau harus berbicara pula tentang keutamaan. Agar manusia sungguh-sungguh bahagia bukan hanya sekedar melakukan aktivitas belaka, namun juga seturut dengan keutamaan.[12] Yang bukan hanya dilakukan beberapa saat saja namun dalam jangka waktu yang panjang (dalam pengalaman). Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan bisa rusak karena sikap-sikap ekstrem. Ekstrem pertama ialah sikap berlebihan dan ekstrem satunya sikap yang kurang. Misalnya tentang kebenarian. Sebuah keberanian merupakan jalan tengah antara takut dan nekad. Takut merupakan kekurangan keberanian sedangkan nekad (terlalu berani) sehingga melakukan apapun yang tidak dipikirkan dengan seksama. Pandangannya disebut “jalan tengah” (the golden mean). Selanjutnya ia menjelaskan mengenai keutamaan, dalam hal memiliki keutamaan dengan melakukan tuntutan keutamaan, terdapat “lingkaran setan”. Lingkaran setan dalam artian bahwa tidak dapat diandaikan mana yang lebih dulu antara memiliki keutamaan itu ataukah melakukan sesuai dengan keutamaan. Misalnya dengan analogi tentang ayam dan telur. Manakah yang lebih dulu antara ayam dan telur? Dengan melakukan apa yang dituntut oleh keutamaan kita semakin memiliki keutamaan itu, dan dengan memiliki keutamaan kita semakin mampu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan keutamaan.[13] Misalnya tentang berbuat adil. Untuk menjadi adil orang harus bertindak dengan adil, untuk bertindak adil  ia harus sudah mesti adil. Hal ini menampakan bahwa kita (manusia) punya bakat atau potensi alami untuk menjadi adil, sehingga untuk menjadi semakin adil dengan jalan bertindak terus dengan adil.
Orang bertindak adil bukan hanya dilihat dari tindakannya yang adil namun juga dilakukan dengan sikap batin (motivasi) yang adil pula. Jadi keutamaan bukanlah suatu emosi atau kemampuan melakukan sesuatu namun merupakan sikap batin tetap atau disposisi.[14] Ada dua akibat dari keutamaan yakni manusianya sendiri menjadi baik sekaligus dapat bertindak dengan baik pula. Jadi keutamaan adalah jalan tengah (mesotes).[15] Jadi keutamaan-keutamaan dipahami sebagi sikap seimbang dan justru karena itu menunjukan kematangan pada kekuatan perkembangan pribadi.[16]
Menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan, yakni keutamaan intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai etikai). Keutamaan moral (etis) merupakan suatu sikap watak yang memampukan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan.[17] Hal ini tidak hanya sekali-sekali saja dilakukan namun dalam sikap hidup terus menerus yang tetap untuk memlakukan jalan tengah. Takaran untuk menentukan jalan tengah bagi tiap orang adalah subyektif, tidak dapat dibagi sesuai dengan aturan masing-masing. Misalnya tentang murah hati, orang yang ekonomi lemah memberi sedekah sejumlah seribu rupiah bagi orang minta-minta, bagi orang kaya member dengan jumlah seribu rupiah bisa dikatakan sebagai kikir. Rasio yang menentukan pertengahan tersebut (dalam hal praktis).
Aristoteles membedakan lima keutamaan intelektual yakni akal budi (nous), kebijaksanaan teoretis (sophia), kebijaksanaan praktis (phronesis), pengetahuan ilmiah (episteme), dan keterampilan (techne).[18] Keutamaan yang mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik adalahphronesis bukan Sophia.[19] Aristoteles mendefinisikan phronesis sebagai disposisi atau sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang baik baginya.[20] Phronesis tidak dapat diajarkan, melainkan tumbuh dari pengalaman da kebiasaan untuk bertindak etis. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan kebijaksanaan praktis. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat sempurna. Hal ini didasarkan pada situasi keberadaan manusia yang senantiasa ada dalam keserbaberubahan. Ini benar, bagaimana mungkin hal itu dipikirkan atau dipertimbangkan secara bijaksana bila semuanya sama dan telah tetap? Tidak perlu ada kebijaksanaan. Lalu dimana dan bagaimana menemukan atau menggali kebijaksanaan? Di dalam dan melalui pengalaman.  Etika yang ditawarkan nampak bahwa Aristoteles tidak mengemukakan serangkaian kaidah pasti, seperti ilmu eksak, melainkan lebih sebagai “kompas” yang menunjukan arah-arah yang ada, untuk kita berjalan sesuai dengan arah dan tujuan kita. Aristoteles membahas kurang lebih sebelas keutamaan, yakni keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran, keberadaban, keadilan dan persahabatn. "Dan kebahagiaan dianggap bergantung pada kegiatan bersantai (leisure); karena kita bersibuk-sibuk supaya kita dapat bersantai, dan berperang agar kita hidup dalam damai." - (Buku X, Bab 7)
Catatan pinggir untuk “eudemonisme” Aristoteles
Apa itu kebahagiaan? Aristeteles menyebutnya dengan kata eudaimonia. Bertens mendefinisikan eudaimonia sebagai sebuah keadaan manusia yang bersifat demikian sehingga segala sesuatu yang ada padanya terdapat pada manusia (“well-being”).[21] Kebahagiaan bukanlah (hanya) perasaan subjektif belaka, namun juga harus ada perasaan subyektif pula.
Apakah kebahagiaan itu dapat “diterima” di dunia ini? Aristoteles menjawab “ya, mungkin kebahagiaan itu dapat diterima di dunia ini”, namun bukan kebahagiaan sempurna. Hanya para dewa yang dapat mencapainya, manusia hanya mampu mendekatinya. Tidak semua orang dapat mencapai kebahagiaan, karena hal itu terletak pada bagaimana pola hidup yang ia jalani. Begitu pula bahwa kebahagiaan sempurna tidak mungkin dapat diterima. Ada orang yang mampu mencapai kebahagiaan dan ada orang yang tidak mampu mencapai kebahagiaan. Orang yang tidak mampu mencapai kebahagiaan hendaknya membantu orang yang bisa mencapai kebahagiaan untuk mengusahakannya terus. Kebahagiaan diterima bukan dengan berorientasi pada kebahagiaan diri sendiri, melainkan dengan melakukan keutamaan-keutamaan. Manusia akan menemukan kebahagiaan bila ia menjalankan aktivitasnya dengan baik (seturut dengan keutamaan) untuk mengusahakan pula bagi kebahagiaan orang lain.   
Dalam hal apa kebahagiaan itu akan diterima? Aristoteles menjawab dalam hal manusia “menjadi manusia seutuhnya”, manusia menjadi manusia (seutuhnya) apabila manusia mengembangkan potensi yang ada dalam aktivitasnya. Sebuah potensi sudah memiliki aktualisasinya, namun sebuah potensi tidak menjadi sebuah realita ketika itu hanya sebuah potensi belaka. Realisasi dari potensi tersebut ada dalam aktivitasnya. Aktivitaslah yang merealisasikan potensi manusia. Aktivitas yang membawa kita menuju kebahagiaan adalah aktivitas yang menggiatkan potensi yang khas, yang hanya dimiliki oleh, manusia. Di situlah kebahagian itu diterima oleh manusia. Di dunia yang berubah inilah manusia bisa merealisasikan potensi khasnya. Bukan di dunia yang tidak lagi ada perubahan. Bagaimana mungkin sebuah potensi bisa berubah menjadi realisasi bila tidak ada ruang bagi adanya perubahan? Bukankah potensi menjadi realisasi itu juga perubahan? Sebuah perubahan membutuhkan syarat eksternal bagi adanya perubahan. Perubahan potensi menjadi realisasi membutuhkan dunia yang mengakomodasi kemungkinan adanya perubahan. Berarti di dunia yang serba berubah inilah perubahan itu menjadi mungkin. Dalam perealisasiannya bukanlah realisasi yang sembarang. Realiasi dari potensi tersebut adalah realisasi seturut dengan keutamaan.
Dalam penjelasannya, Aristoteles memang terkesan membedakan (bahkan memisahkan) antara theoria dan praxis. Dua-duanya memang sama-sama aktivitas, namun terkesan itu dua hal yang terpisah. Bahkan theoria tidak berkaitan dengan persoalan yang ada di bumi, karena memandang realitas yang tak berubah. Realitas yang tak berubah tidak memiliki kaitan dengan realitas yang berubah, itulah kesan yang mungkin saja bisa muncul dalam pembacaan pemikiran Aristoteles. Secara implisit terlihat dari gagasan tentang phronesis yang merupakan sumber untuk praxisbukannya Sophia, yang merupakan hasil dari theoria. Ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini bahwa praxis merupakan ladang untuk mengimplementasikan theoria.Bila memang dipahami seperti itu hal ini menunjukan bahwa praxis adalah aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan theoria. Bila demikian konsekuensi logisnya upaya pembangunan praxis tidak akan pernah maksimal. Bila ada yang lebih tinggi untuk dicapai (dilakukan) kenapa memilih melakukan yang lebih rendah?
Pandangan Aristoteles mengakomodir dua hal yang ada dalam diri manusia yakni manusia sebagai individu dan manusia sebagai mahkluk sosial. Bila manusia ingin bahagia, ya bahagia dalam keseluruhannya. Dalam eudemonismenya Aristoteles ini menunjukan bahwa manusia adalah pencipta, misalnya manusia diandaikan sebagai binatang (zoon) yang memiliki potensi dan “potensi” tersebut memiliki potensi untuk menjadi aktual (realisasi), di sinilah manusia akan bahagia. Apakah memang dalam kenyataan ini manusia bisa selalu menentukan (atau sedikitnya merencanakan) apa yang akan terjadi dalam hidupnya? Karena ada hal-hal tertentu yang tidak terjadi tanpa kehendak dan kemampuan manusia.[22] Bukankah keberadaan sebagai manusia bukankah tanpa kehendak (persetujuan) kita manusia?
Bisa juga ditanyakan apakah tolok ukur bahwa manusia mengerti apa yang tepat? Aristoteles menjawabnya dengan phronesis. Namun phronesis itu sendiri berada dalam lingkaran yang berputar-putar. Bagaimana memulainya? Dimanakah awalnya untuk melangkah? Mungkin Aristoteles menjawab itu terjadi melalui pengalaman, semakain berpengalaman semakin ia mempunyai phronesis. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman itu merupakan pengalaman yang tepat?
Menuju aktualisasi
Melihat uraian etika Aristoteles di mana ia melihat apa yang baik bagi manusia dengan cara menarik jawabannya dari awal (asas hakiki) manusia yang menghubungkannya dengan tujuan hakiki manusia. Dalam pandangan Aristoteles terkesan bahwa ia menaruh pandangan “emas” terhadap manusia. Manusia memiliki apa yang disebut potensi-potensi yang berbeda dengan mahkluk hidup lainnya. Apa yang sesuai atau baik bagi manusia ialah “mengembangkan” apa yang menjadi asas hakiki manusia. Penjelasan dengan membedakan ini penting, namun ada konsekuensi negatif pula, karena dengan demikian manusia akan sadar dan terangsang untuk mencari dirinya dan mengembangkannya. Pendekatan ini menunjukan bahwa Aristoteles berpijak di bumi ini. Kita ambil contoh, mengenai kemampuan model pendekatan ini. Suatu hari saya melihat seorang suami istri sedang bertengkar. Saya tidak tahu dengan jelas apa yang menjadi pokok persoalan, namun sayup-sayup terdengar kata “selingkuh”. Mungkin persoalan perselingkuhan si suami dengan wanita lain. Si istri tiba-tiba mengeluarkan kata-kata makian dan umpatan terhadap suaminya. Kata makian yang ia ungkapkan salah satunya iala “anjing”. Kata anjing dilontarkan sebagai bentuk kekesalan dan sebuah penilaian terhadap si suami bahwa ia “mirip” (tindakannya) dengan anjing. Manusia berbeda dengan anjing, sehingga ketika manusia disamakan dengan anjing itu merupakan ejekan.
Melihat persoalan saat ini, nasihat Aristoteles ini bisa menjadi “kompas” bagi kehidupan masa kini. Orang tidak segan untuk merasa “nikmat” dalam melakukan kejahatan dan merasa sulit atau sakit bila melakukan kebaikan. Ada satu pengalaman yang menarik tentang hal ini. Suatu ketika saya bertemu dengan sahabat lama dan berbincang-bincang secara khusus tentang tindakan kriminal yang marak dilakukan oleh orang-orang, yang bukan hanya di kota besar. Kebetulan pada waktu itu tersiar kabar bahwa ada seorang suami yang tega membunuh istrinya. Saya berpendapat, waktu itu, bahwa manusia jaman sekarang tingkahnya sudah seperti binatang. Kemudian teman saya bercanda dengan celetukan: “kalau sekarang kamu bilang begitu bukan manusianya yang malu namun binatangnyalah yang malu, karena disamakan dengan manusia”. Dengan celetukan ini ada benarnya bila kita melihat realita saat ini. Orang tidak segan memakan yang lainnya demi “pemenuhan” nafsu individunya. Melihat kembali apa yang menjadi asas hakiki manusia menyadarkan kita untuk menjadi manusia yang utuh, yang dalam setiap tindakan kita mengarah pada yang baik.
Mengajarkan pula tentang pola hidup manusiawi yang sederhana. Pola hidup yang berbeda dengan mahkluk hidup yang lain, yang khas manusia. Penekanan keperbedaan ini bukan hanya pada aras individual namun juga pada aras kolektifitas. Manusia merupakan mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Memang hal ini tidak secara eksplisit digambarkan dalam etika Aristoteles, namun kita dapat melihatnya dari gagasannya tentang pencapaian kebahagiaan melalui dua aras yakni melalui theoriadan praxis. Yang pertama tentunya dilakukan secara individu dan yang kedua dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Manusia tidak dapat menemukan dirinya hanya dengan “menyendiri”. Dan juga manusia tidak dapat menenmukan dirinya hanya dalam “masyarakat”. Keduanya merupakan potensi yang ada dalam manusia. Bila manusia ingin menggiatkan potensi yang utuh manusiawi, harusnya menyentuh dalam dua aras ini, individu sekaligus komunal.  
Suatu hal yang realistis bila kita memikirkan apa itu kebahagiaan. Berkaca dari aristoteles kebahagiaan bukan hanya berkaitan dengan perasaan senang saja. Kebahagiaan sebagai manusia dapat diidekati dengan cara mengaktualisasikan diri dengan baik. Melakukan yang baik dengan keutamaan-keutamaan, baik keutamaan moral (etis) maupun keutamaan intelektual. Menuju aktualisasi potensi manusia sama dengan menuju kebahagiaan ala Aristoteles. []

Daftar Pustaka:
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, (Jogjakarta: Kanisius,  1999)
Gaarder, Jostein,  Dunia Sophie, (Bandung: Mizan, 2010)
Hadiwijono, Harun, Sari sejarah Filsafat Barat 1, (Jogjakarta: Kanisius, 1980)
Magnis-Suseno, Franz , 13 Tokoh Etika: sejak zaman Yunani sampai abad-19, (Jogjakarta: Kanisius, 1999)
13 Model Pendekatan Etika: bunga rampai teks-teks etika dari Plato sampai Nietzche, (Jogjakarta: Kanisius, 1998)
Pasaribu, Saut,  Aristoteles: Politik, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2000)  


[1] Dikutip dari novel Jostein gaarder,  Dunia Sophie, (Bandung: Mizan, 2010), p. 197.
[2] Ada juga pandangan yang mengatakan bahwa kepindahan Aristoteles dikarenakan adanya gerakan anti Makedonia.
[3] Terjemahan Saut Pasaribu, Aristoteles: Politik, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2000), p. lv-lviii.
[4]  Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: sejak zaman Yunani sampai abad-19, (Jogjakarta: Kanisius, 1999), p.27
[5] Ibid, p.36-37
[6] Buku I, Bab 7, dalam Wikipedia, diakses tanggal 15 Desember 2010
[7] K.  Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Jogjakarta: Kanisius,  1999), p. 193-194
[8] Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 1, (Jogjakarta: Kanisius, 1980), p.51
[9] Ibid, p. 37
[10] Franz Magnis-Suseno, 13 TokohEetika: sejak zaman Yunani sampai abad-19, (Jogjakarta: Kanisius, 1999), p.33
[11] Ibid, P.33
[12] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,  p. 194
[13] Ibid, p. 37
[14] Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Jogjakarta: Kanisius, 1998), p.38
[15] Sekalipun itu tidak selalu begitu, ada juga dimensi emosi dan tindakan yang buruk pada dirinya sendiri, jadi tidak dapat dimengerti sekadar sebagai sebuah sikap yang berlebihan satu kurang (dalam p. 38)
[16] Franz Magnis-Suseno, 13 tokoh etika, p. 39
[17] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, p.196
[18] Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, p.38
[19] Kebijaksanaan yang didapat dengan memandang alam yang tidak berubah, alam abadi. Sedangkan phronesis perihal bagaimana manusia bertindak di alam yang serba berubah ini. Phronesis tidak dapat diajarkan.
[20] Franz-Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, p.38
[21] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, p. 195


No comments:
Write comments