Friday, September 22, 2017

Ecological Citizenship

Ekologi adalah ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme–organisme atau kelompok–kelompok terhadap lingkungannya (Irwan, 2012:6). Manusia sebagai satu bagian dari lingkungan yang kompleks. Kegiatan–kegiatan seperti pertumbuhan penduduk, industri pembangunan jalan–jalan dan pembangunan hutan, pemakaian insektisida, pembangunan pemukiman dan pembangunan gedung–gedung lainnya merupakan beberapa contoh yang dapat mempercepat proses perubahan lingkungan dari bumi ini. Untuk hidup dan hidup berkelanjutan bagi manusia harus belajar memahami lingkungannya dan pandai mengatur pemakaian sumber daya alam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan demi pengamanan dan pelestarian (Irwan, 2012:12).
Menurut Stern (1971-1938) yang dikutip dari Dwijoseputro (1990: 9), “manusia adalah produk dari interaksi antara diri aslinya dengan lingkungan”. Dalam ekologi, lingkungan fisik disebut juga komponen fisik, komponen tak hidup, komponen non hayati atau komponen abiotik. Komponen ini terdiri atas tanah, air, udara, cahaya matahari, dan benda–benda alam lainnya. Disamping itu dikenal juga komponen hayati atau komponen biotik yang terdiri atas tumbuhan, hewan dan makhluk hidup lainnya. Dalam Sosiologi Manusia terdapat ekologi manusia yang membicarakan hubungan timbal balik antara manusia dengan sesama manusia, sedangkan ekologi manusia mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya yang tidak hanya sesama manusia saja (Dwidjoseputro, 1990:10).
Kewarganegaraan sebagaimana pendapat dari Heater (2004:1), bahwa “Citizenship is a form of socio-political identity”. Kewarganegaraan terwujud dari hubungan antara individu bukan hanya dengan individu yang lain (seperti halnya yang terjadi pada sistem feodal, monarki dan tirani) atau suatu kelompok (seperti dengan kebangsaan), akan tetapi pada hakikatnya berhubungan dengan negara. Identitas kewarganegaraan diabadikan di dalam hak-hak yang disampaikan oleh negara dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh setiap warga negara, yang semuanya adalah orang-orang yang mandiri, yang memiliki status sama. Warga negara yang baik, adalah mereka yang memiliki kesetiaan kepada negara dan memiliki rasa tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka memerlukan keterampilan yang tepat untuk partisipasi kewarganegaraan ini. Konsep kewarganegaraan terwujud melalui berfungsinya peran negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negaranya dan partisipasi warga negara dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara baik.
Kewarganegaraan dalam era modernisasi sekarang ini menghadapi permasalahan yang menurut Turner (2001) dipengaruhi oleh globalisasi dan kondisi alam. Ketersediaan sumber-sumber daya yang terdiri dari bumi, air, udara dan kekayaan alam menjadi faktor penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Turner (2001) sekali lagi menegaskan makna bahwa, dalam era modern muncul masalah-masalah yang membutuhkan peran negara dalam mengatur kehidupan warga negaranya dan ketersediaan sumber-sumber daya terutama masalah alokasi atau pembagian sumber daya untuk menjamin rasa keadilan. Negara melalui kekuasaan yang dimiliki bertanggung jawab dalam ikut menyelesaikan berbagai permasalahan kewarganegaraan tersebut.
Menurut Kalidjernih (2010), “modernitas telah membawa dampak besar kepada manusia secara individu (self) dan perubahan sosial yang hebat dalam berbagai masyarakat yang berkaitan dengan masalah ekologikal, yang muncul beberapa dasawarsa terakhir” (2010:155). Masalah ekologikal terjadinya terutama karena, kerusakan lingkungan. Kondisi ini memunculkan gerakan yang sering disebut environmentalisme. Gerakan environmentalis berupaya melakukan penyadaran atas ketergantungan manusia dengan alam yang dapat mempengaruhi pola hidup dan perilaku manusia. Kondisi ini membawa implikasi penting kepada konsepsi kewarganegaraan. Terutama berkaitan dengan peran negara sebagai pengambil kebijakan dalam mengatur kehidupan ecological (2010:160-161).
Dobson (2007) menawarkan penyelesaian kondisi ekologi yang semakin rusak dengan satu perspektif baru untuk memandang persoalan lingkungan dari posisi sebagai anggota warga negara (citizen). Perspektif baru oleh Dobson dinamakan kewarganegaraan ekologi (ecological citizenship), yaitu:
“Pandangan setiap warga negara bersamaan dengan statusnya sebagai anggota suatu entitas politik bernama negara yang memiliki hak untuk menikmati kehidupan yang sehat dan kewajiban ikut mewujudkannya. Pandangan tersebut merupakan nilai kebajikan berdasar kewarganegaran yang lebih dari sekedar pandangan yang dibatasi teritorial suatu negara.”
Dari kutipan tersebut, Dobson beranggapan bahwa kewarganegaraan ekologi turut menjadi satu pandangan yang memicu gerakan kepedulian lingkungan secara privat individu maupun publik.
Menurut Sutton (2011), “Ecological Citizenship merupakan hak akses dan kewajiban terhadap pelestarian lingkungan alam yang muncul dari suatu pengakuan bahwa manusia dan alam adalah bagian dari eksosistem yang saling bergantung satu sama lainnya. Sehingga ecological citizenship membutuhkan perubahan gaya hidup bagi masyarakat modern yang bersifat konsumtif. Sehingga adanya aturan yang jelas terhadap keberlangsungan alam dan seisinya tetapi untuk membuat lingkungan kita menjadi asri kembali tidak dapat diwujudkan melalui proses yang cepat melainkan membutuhkan keseriusan dan kesabaran yang tinggi untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan.
Turner (2001) yang dikutip dari Prasetyo (2016), menjelaskan “kewarganegaraan ekologi sebagai ekspresi dari kewajiban warga negara untuk mengembalikan keaslian lingkungan”. Dobson sepakat dengan pendapat dari Mark Smith bahwa sudah saatnya ada pandangan tentang ‘a new politics of obligation’ atau pandangan politik yang mulai memberikan perhatian pada kewajiban manusia kepada hewan, tumbuh-tumbuhan, gunung, laut, dan semua anggota dalam komunitas. Dobson (2007) mengingatkan bahwa realisasi dari kewarganegaraan ekologi dimulai dari lingkungan rumah sebagai praktek habituasi kepedulian lingkungan bagi internalisasi kebajikan (virtue) seperti peduli (care) dan keharuan (compassion).

Menurut Kalidjernih (2010), gagasan ekologi kewarganegaraan (ecological citizenship) ini membawa implikasi penting kepada konsepsi kewarganegaraan yang dikaitkan dengan keberadaan di dunia saat ini sebagai masyarakat resiko (risk society), penting adanya usaha untuk melindungi masyarakat dari dampak kerusakan lingkungan. Kondisi ini menuntut kepedulian pada kelestarian lingkungan, mencegah eksploitasi terhadap lingkungan, dan mendorong pertanggung jawaban terhadap sumber-sumber alam. Tanggung jawab manusia bukan hanya terhadap manusia, tapi juga alam.

No comments:
Write comments