Tuesday, December 19, 2017

Kearifan Lokal di Jawa Tengah

Globalisasi akan menghilangkan sekat-sekat budaya satu dengan lainnya. Dalam era itu karakter budaya tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan dengan budaya global yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu yang berbasis budaya etnis akan semakin luntur, termasuk perlakuan terhadap budaya Jawa. Saat ini sudah saatnya konsep globalisasi dimaknai ulang agar budaya Jawa dapat berdiri kukuh bersanding dengan budaya lain baik di tingkat nasional, regional, bahkan pada tingkat internasional.

Salah satu upaya untuk mengenalkan dan mempertahankan budaya Jawa yang komprehensif adalah melalui dunia akademis. Salah satu upaya tersebut dapat melalui pembuatan bahan ajar yang berbasis pada kearifan lokal budaya Jawa untuk pembelajaran . Kegiatan ini selain bermanfaat bagi pemelajar , juga akan membantu dalam upaya pemeliharaan dan pendokumentasian budaya Jawa. Bahan ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk merevitalisasi budaya Jawa dan sebagai pemicu ketertarikan orang asing dalam mengenal budaya Jawa yang pada akhirnya orang asing akan semakin mengerti dan memahami keluhuran budaya tersebut.

Budaya Jawa memiliki kearifan lokal yang sangat kaya. Kearifan lokal terdapat dalam semua aspek kehidupan budaya Jawa. Kekayaan dan keberagaman kearifan lokal inilah yang akan dikembangkan sebagai bahan ajar . Selain kandungan kearifan lokal yang sangat menarik, saat ini juga ada anjuran UNESCO untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kearifan lokal kepada masyarakat dunia yang dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam menangani permasalahan kehidupan. Untuk itu, kearifan lokal budaya Jawa perlu diangkat, didokumentasikan, dilestarikan, dan direvitalisasi. Dalam makalah ini akan diuraikan bagaimana kearifan lokal budaya Jawa dapat digunakan sebagai bahan ajar BIPA yang sangat bermanfaat bagi pemertahanan eksistensi budaya Jawa dan sebagai sumber inspirasi bagi orang asing dalam memahami budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa.

Kata kunci: kearifan lokal, budaya Jawa, bahan ajar

Pendahuluan

Budaya Jawa mempunyai peranan penting dalam budaya Indonesia, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa menjadi salah satu pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia. Tidak sedikit kosakata bahasa Jawa menjadi warga bahasa Indonesia. Untuk itu, tidak berlebihan jika bangunan bahasa Indonesia ditopang oleh bahasa Jawa.

Salah satu aspek penting yang tak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal. Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara, Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah

1. mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan, dan

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya


(Ayatrohaedi, 1986:40).


Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Pemahaman tersebut menyatakan bahwa dalam budaya Jawa terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat Jawa semasa masyarakat Jawa tersebut ada. Artinya, kearifan lokal masyarakat Jawa sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu diupayakan wacana alternatif dalam dekonstruksi globalisasi sesuai dengan pemaknaan yang dimunculkan oleh Hoed (2008:107).

Salah satu upaya dalam membantu dekonstruksi globalisasi tersebut dapat dilakukan melalui penggunaan kearifan lokal budaya Jawa sebagai bahan ajar bahasa Indonesia bagi penutur asing. Bahan ajar berbahasa Indonesia yang berbasis pada kearifan lokal perlu dikembangkan. Bahan ajar yang mendukung keterampilan berbahasa Indonesia perlu terus ditambah dan dikembangkan, sehingga pemelajar, selain memiliki bahan ajar yang bervariatif juga semakin banyak mengerti dan memahami apa yang tersirat dalam bahan ajar yang dipelajarinya.

Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui (1) norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3) lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Sartini, 2004).

Manfaat Kearifan Lokal Budaya Jawa sebagai Bahan Ajar

Dalam laman Dikmenjur dikemukakan bahwa bahan ajar merupakan seperangkat materi atau substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif siswa mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Lebih lanjut disebutkan bahwa bahan ajar berfungsi sebagai berikut.


a. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam pemelajaran dan sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada pemelajar.

b. Pedoman bagi pemelajar yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam pemelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya.

c. Alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.


Jadi, bahan ajar dibuat sebagai sarana untuk meningkatkan kemahiran berbahasa pemelajar, sehingga pemelajar menguasai materi tersebut dan berkompeten sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasainya. Untuk itu, keterampilan berbahasa yang merupakan kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran harus menjadi tujuan utama dalam proses ini.

Penggunaan muatan-muatan tertentu dalam mendukung kompetensi pemelajar merupakan pilihan bagi pengajar yang akan disesuaikan dengan situasi dan kondisnya. Akan tetapi, keterampilan berbahasa Indonesia tetap menjadi tujuan utama dalam pengembangan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa tersebut.

Keberhasilan pengajaran  dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah aspek kompetensi kebahasaan. Kompetensi kebahasaan dapat dilihat dari kualitas keterampilan berbahasa pemelajar dalam menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Aspek kedua adalah aspek yang lebih luas yaitu pemahaman budaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Semakin tinggi pemahaman budaya pemelajar terhadap budaya tertentu semakin kecil juga gegar budaya dan semakin tinggi toleransi mereka terhadap budaya tersebut. Jadi, pemahaman budaya yang dibangun dari pemahaman bahan ajar berbasis kearifan lokal, akan sangat membantu pemelajar dalam meningkatkan kompetensi berbahasa.

Dalam konteks yang kedua, metode komunikatif memegang peranan penting dalam proses pembelajaran tersebut. Aspek pemahaman budaya yang digunakan dalam berkomunikasi sangat membantu pencapaian keterampilan berbahasa Indonesia. Semakin tinggi aspek budaya yang mendukung proses tersebut semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pemelajar dalam menguasai bahasa Indonesia. Semakin tinggi pemahaman budaya pemelajar  terhadap budaya Jawa, semakin mudah pula pemelajar tersebut menggunakan bahasa Indonesia khususnya jika berkomunikasi dengan orang Jawa.

Penggunaan aspek kearifan lokal Jawa dalam bahan ajar berarti mengangkat nilai lokal Jawa dalam pemahaman pemelajar. Nilai lokal ini akan menunjukkan identitas dan jati diri orang Jawa dalam kapasitasnya sebagai orang Indonesia. Nilai lokal yang unik akan menjadi sebuah nilai jual dalam komunitas global. Hampir semua nilai lokal Jawa yang masuk dalam nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sumber dan inspirasi untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai kehidupan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal banyak membantu masyarakat dalam mempertahankan hidup.

Telah diketahui bersama bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya. Saat ini belum dilakukan inventarisasi kearifan lokal Jawa secara maksimal. Ada sejumlah manfaat penggunaan kearifan lokal Jawa dalam pemelajaran . Salah satu manfaat pembuatan bahan ajar berbasis kearifan lokal Jawa adalah membantu pemangku kepentingan budaya Jawa dalam melakukan pendataan dan inventarisasi kearifan lokalnya. Semakin banyak dan beragam bahan ajar berbasis kearifan lokal Jawa semakin tinggi sumbangsihnya dalam membantu pemangku kepentingan dalam usaha pendataan dan inventarisasi kearifan lokal tersebut. Pendataan dan inventarisasi kearifan lokal memerlukan usaha yang serius dalam penggaliannya.Tanpa adanya usaha pengumpulan bukan tidak mungkin nilai kearifan lokal Jawa akan semakin terpinggirkan, bahkan anak-anak sebagai ahli waris budaya tidak akan mengenal budaya dan kearifan-kearifannya.

Manfaat lain adalah membantu dalam revitalisasi budaya Jawa dengan cara memberi pemaknaan ulang konsep kearifan tersebut. Kadang kala sebuah kearifan lokal dimaknai sebagai sebuah nilai dari leluhur yang tidak boleh didiskusikan kandungan nilainya. Generasi terdahulu mungkin dapat menerima konsep ini, tetapi generasi saat ini memerlukan logika berpikir dalam menerima nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. Generasi terdahulu masyarakat Jawa mengenal adanya konsep tabu dengan ungkapan ora ilok. Generasi terdahulu faham dan mau mengerti jika orang tuanya mengatakan ora ilok. Akan tetapi, generasi muda saat ini memerlukan logika berpikir untuk menerima konsep-konsep tersebut. Jadi, pembuatan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa merupakan upaya revitalisasi budaya Jawa dengan sarana bahan ajar yang memerlukan pemaknaan ulang, karena pengguna bahan ajar tersebut adalah orang asing.

Pertimbangan berikutnya adalah prioritas penggunaan kearifan lokal sebagai bahan ajar lebih baik didasarkan juga pada tingkat keilmiahannya. Faktor keilmiahan digunakan sebagai dasar pijakan pertimbangan penggunaan materi ini. Untuk itu, tingkat keilmiahan harus tetap dijadikan pertimbangan dalam pembuatan bahan ajar. Boleh saja materi-materi berupa mitos dimunculkan, tetapi hanya sebatas informasi sebagai bahan ajar untuk meningkatkan kompetensi berbahasanya. Jadi, dalam penggunaan bahan ajar ini tetap dibedakan antara penggunaan mitos dan kearifan lokal yang berbasis ilmiah. Pembedanya adalah bentuk penyajian pemaknaan yang muncul dari materi itu.

Manfaat lain yang jauh lebih besar adalah untuk melestarikan budaya Jawa. Menurut Rahyono (2009:9), pemelajaran kearifan lokal mempunyai posisi yang strategis. Posisi strategis itu, antara lain (1) kearifan lokal salah satu pembentuk identitas, (2) kearifan lokal bukan merupakan sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri, dan (5) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Jika hal ini dijadikan panduan dalam menyusun bahan ajar, tentu posisi strategis itu tidak hanya berdampak pada pemilik budaya masyarakat Jawa, tetapi dapat juga berdampak pada pemelajarnya.

Selanjutnya, penyusunan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa selain membantu masyarakat Jawa dalam melestarikan dan merevitalisasi budaya Jawa, kegiatan ini juga sangat bermanfaat bagi orang asing sebagai pemelajar. Salah satu tujuannya adalah untuk membuat materi ajar menjadi menarik. Bagi pemelajar asing mendapat bahan ajar berbasis budaya baru, apalagi materi berupa kearifan lokal merupakan sesuatu yang menarik. Diharapkan dengan keunikan dan sesuatu yang bersifat baru itu akan dapat menambah motivasi pemelajar dalam mengembangkan kompetensi berbahasanya.

Sebagai bahan ajar, materi kearifan lokal budaya Jawa merupakan salah satu media untuk memperkenalkan budaya Indonesia khususnya budaya Jawa. Dengan pemilihan materi yang tepat, diharapkan pemelajaran akan berjalan lebih menarik. Bahan ajar yang berbasis kearifan lokal budaya Jawa akan membuka jendela pemahaman pemelajar , meskipun pemelajar belum pernah ke Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat yang sangat strategis dalam memahami budaya Indonesia. Tentu saja bahan ini harus dikemas semenarik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan pemelajar.

Selain itu, bahan ajar yang berbasis kearifan lokal budaya Jawa akan akan memberikan citra positif masyarakat Indonesia. Teknologi tradisional yang ramah lingkungan, keseimbangan alam, kesopanan, dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal itu akan memberikan gambaran kepada pemelajar bahwa masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa memiliki keunggulan dalam berbagai ranah sejak masa lalu. Kearifan-kearifan itu digunakan oleh masyarakat Jawa dalam melakukan aktivitas hariannya. Kearifan itu memiliki makna yang sangat positif dan berperan dalam pengembangan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, kesan yang baik tentu dapat diambil dari penggunaan bahan ajar ini.

Salah satu pertimbangan penting yang lain, mengapa kearifan lokal budaya Jawa dimunculkan kembali adalah imbauan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memasukkan kearifan lokal dalam prioritas dari Kerangka Aksi Hyogo, yang menitikberatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Salah satu kegiatan utama yang teridentifikasi di bawah prioritas aksi itu berfokus pada pentingnya pengelolaan dan pertukaran informasi, serta menggarisbawahi penggunaan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, dan warisan budaya yang relevan yang dapat dibagikan dan diadaptasi oleh masyarakat di tempat lain. Diangkatnya kearifan lokal budaya Jawa sebagai bahan ajar, berarti juga kita telah membantu imbauan PBB tersebut.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pertimbangan bahwa kearifan lokal budaya Jawa memiliki kandungan nilai-nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai yang dapat memperkaya rasa keadilan, kemampuan bertanggung jawab, kemandirian, kerukunan, kejujuran, kerukunan, dan keteladanan, serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut memang digali dari potensi budaya Jawa yang bersifat lokal, tetapi nilai-nilai tersebut bersifat universal, sehingga dapat dijadikan nilai-nilai umum dan dapat digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan saja.

Contoh kearifan lokal budaya Jawa adalah konsep pranata mangsa. Masyarakat petani dahulu mengenal konsep itu untuk melakukan kegiatan dalam bercocok tanam. Konsep itu ternyata sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak abad ke-17. Hal ini dapat dilihat dari serat Centhini karya Pujangga Pakubuwana V yang memuat konsep tersebut. Dengan konsep itu petani mengetahui kapan harus menanam padi, kapan menanam palawija dan sebagianya. Dengan pranata mangsa petani mengikuti keseimbangan alam sehingga budi daya akan berjalan efektif. Contoh penggunaan pranata mangsa, petani melaksanakan panen pada mangsa ke-9 bertepatan dengan keluarnya ular dan burung pemakan serangga. Ular dan burung merupakan predator bagi tikus dan wereng. Konsep ini akan menghasilkan keseimbangan lingkungan yang efektif.

Gerakan revolusi hijau pada tahun 1950—1980 yang menggeser pemahaman pranata mangsa ternyata berdampak buruk bagi lingkungan. Revolusi hijau yang berdasar pada tiga pilar utama, yaitu sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, serta benih unggul dalam meningkatkan produktivitas ternyata berdampak sangat signifikan dalam peningkatan hasil tanaman pangan, seperti padi. Akan tetapi, dampak terhadap lingkungan akibat revolusi hijau tidak kalah signifikannya. Karena mudahnya irigasi, padi bisa ditanam tiga kali dalam setahun. Hama serangga akan sangat mudah diberantas dengan pestisida. Begitu juga, benih-benih unggul hasil rekayasa genetika begitu mudah dihasilkan. Akhirnya, atas landasan optimalisasi produksi semua dijalankan secara masif tanpa melihat dampak terhadap lingkungan. Padahal penanaman padi berseling palawija, penggunaan air hujan sebagai sarana irigasi, dan penggunaan bibit alami memiliki tujuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan pula. Revolusi hijau menjauhkan para petani dari pranata mangsa. Sebetulnya pranata mangsa mencerminkan kehidupan para petani selaras dengan alam. Revitalisasi pranata mangsa perlu dimunculkan kembali untuk kelangsungan hidup dan keseimbangan alam dengan menyesuaikan kehidupan modern yang ada.

Penggunaan bahan ajar seperti revitalisasi pranata mangsa perlu dikembangkan, agar manfaatnya tidak hanya dipetik oleh masyarakat Jawa juga dapat dipetik oleh orang asing sebagai pemelajar. Bagi masyarakat Jawa, manfaatnya adalah bahwa petani Jawa saat ini harus berpikir ulang dan mulai merevitalisasi konsep pranata mangsa. Bagi pemelajar , bahan ajar ini tentu sangat bermanfaat. Manfaat utama bagi pemelajar adalah pemelajar mendapat bahan atau materi yang baik, yang akan meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia. Manfaat berikutnya, pemelajar mengetahui adanya kandungan kearifan lokal masyarakat Jawa berupa ilmu pengetahuan pertanian yang telah dipelihara masyarakat Jawa sejak dulu. Wacana seperti itu akan menambah pemahaman budaya pemelajar dalam konteks pemelajaran bahasanya.

Dari satu contoh tersebut kiranya perlu dikembangkan bahan-bahan lain yang dapat menambah kekayaan bahan ajar  yang saat ini masih dirasakan sangat terbatas. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43 buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi sosial budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan sosial budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11 buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit. Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materitersebut belum dapat dikatakan menyentuh tujuan pengajaran , karena memang pengajaran itu tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman budayanya, termasuk aspek kearifan lokal budaya tertentu.

Berikut ini beberapa contoh kearifan lokal Jawa yang dapat dijadilkan bahan ajar BIPA.



1. Orang Jawa melakukan upacara wiwitan sebelum panen padi sehingga ada pelajaran untuk membiasakan memilih benih unggul buatannya sendiri sebelum dilakukan pemanenan padi yang akan diperjualbelikan atau untuk konsumsi. Menyiapkan benih unggul adalah sangat penting bagi keberlanjutan usaha tani.

2. Di desa-desa masa lalu Jawa selalu ada tempat yang disebut punden berupa hutan lebat dan disampingnya adalah makam. Segala jenis tanaman yang tumbuh di punden tidak boleh diganggu keberadaannya kecuali untuk dilestarikan dan dikembangkan. Punden biasanya memberi manfaat pada kelestarian sumber air dan ketersediaan plasma nutfah lokal.

3. Petani Mataraman tempo dulu wajib untuk membudidayakan tanaman terpadu yang berupa kombinasi jenis oyod-oyodan, kekayon, gegodhongan, kekembangan, woh-wohan, dan gegedhangan. Jika hal tersebut dilakukan maka kebutuhan pangan, bahan bakar, perumahan, obat-obatan, dan harum-haruman akan dapat dipenuhi dari lingkungannya sendiri.

4. Penyuburan tanah dan tanaman serta pengendalian hama-penyakit tanaman biasa dilakukan dengan memanfaatkan doa, lelaku dan menggunakan alat dan bahan hayati lokal.

5. Masyarakat pedesaan biasa memanfaatkan tanaman-tanaman lokal untuk berbagai keperluan adat, kesehatan, asesoris, dan lain-lain.

6. Masyarakat desa yang masih memiliki hutan, biasa menanam aneka tanaman umbi-umbian yang dapat  tumbuh subur tanpa harus menebang pohon di atasnya.

7. Masyarakat biasa menanam aneka tanaman koro-koroan untuk penyubur tanah dan sumber pangan kaya protein.

8. Orang Jawa memantang membakar tanaman kelor yang setelah diteliti ternyata tanaman kelor akan kehilangan unsur hara penyubur daun bila dibakar.

9. Orang desa biasa mengolah hasil umbi-umbian untuk berbagai keperluan dengan tanpa pewarna, pengawet, dan bumbu penyedap karena ternyata unsur unsur tersebut sudah ada secara alami.

10. Pesan nenek moyang, jika ingin kuat bertahan hidup maka kita harus menanam aneka tanaman yang sifatnya uripan, Jika ingin berdiri kokoh maka kita harus bertanam oyod-oyodan atau umbi-umbian.



Penutup

Pemelajaran kearifan lokal terutama di jawa tidak bisa dipisahkan dengan budaya Indonesia. Salah satu pilar budaya Indonesia didukung oleh budaya Jawa. Oleh karena itu, penggunaan bahan ajar BIPA berbasis pada budaya Jawa adalah langkah yang harus dikembangkan. Pengembangan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Jawa, juga banyak bermanfaat bagi pemelajar. Selain pemelajar berkompetensi dalam berbahasa Indonesia, pemelajar juga memahami isi materi bahan ajar yang didalamnya banyak terkandung nilai-nilai arif masyarakat Jawa.

Saat ini diperlukan upaya yang serius untuk mengembangkan bahan ajar dalam rangka pengembangan pengajaran kearifan lokal. Tentu bahan ajar berbasis kearifan lokal ini harus dikemas secara menarik dan disesuaikan dengan tingkat pemelajarnya.

Daftar Pustaka

♦ Ayatrohaedi.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius.,Jakarta:
   Pustaka Jaya.

♦ Duryatmo, Sardi. 2010. “Kalender Warisan Leluhur”. Jakarta: Trubus
   edisi 487 Juni 2010/XLI.

♦ Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok:
   Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

♦ Mayani, Luh Anik. 2008. “Kemanfaatan Bahan Ajar BIPA Tingkat
   Pemula”. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

♦ Mustakim. 2003. “Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran
   BIPA”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise     Finney (Editor). Prosiding
   Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
   Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation (IALF).

♦  Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama
   Widyasastra.

♦ Sartini. 2004 “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian
   Filsafati. Jurnal Filsafat UGM, Jilid 37, Nomor 2.

♦ Shaw, Rajib, Noralene Uy, dan Jennifer Baumwoll. 2008. “Kearifan
   Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana”. Diakses dari
   www.unisdr.org.

♦ Sutarto, Ayu. 2010. “Kearifan Lokal untuk Pembelajaran Bahasa dan
   Sastra” Dalam Sunu Catur Budiyoso dan M. Lutfi Baihaqi (Editor).
   Prosiding Seminar Internasional Identitas Masyarakat Multikultural di
   Era Global. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana, Balai Bahasa
   Surabaya, HPBI.

♦ The Common European Framework of Reference for Languages.
   Language Policy Division, Council of Europe, Strasbourg. Cambridge
   University Press. Diakses dari www.uk.cambridge.org/elt.

♦ Widjajaputra, Bima. 2008. ”Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis
   Kearifan Lokal dan Hak-Hak Anak”, dalam Rambu-Rambu Pelaksanaan
   Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal dan Hak-Hak Anak. Bantul: SD
   Sendangsari.

♦ Widiyanto, Hidayat. 2010. “Penguatan Lembaga Bahasa Indonesia bagi
   Penutur Asing (BIPA): Upaya Peningkatan Bahasa Indonesia sebagai
   Bahasa Internasional”. Prosiding Seminar Internasional Bahasa dan
   Sastra 2010. Mataram: Balai Bahasa Nusa Tenggara Barat.

♦ Widiyanto, Hidayat. 2011. “Kearifan Lokal sebagai Bahan Ajar Bahasa
   Indonesia bagi Penutur Asing”. Proceedings International Seminar:
   Language Maintenance and Shift. Semarang:Master’s Program
   Linguistic, Diponegoro University.

No comments:
Write comments