1.
Definisi Resiliensi
Resiliensi
merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan
yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan
tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987).
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The
Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi
dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya
(Reivich. K & Shatte. A, 2002 ).
Menurut
Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi
dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Dalam ilmu
perkembangan manusia, resiliensi memilki makna yang luas dan beragam, mencakup
kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan
stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Dan
yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang positif atau menunjukkan
perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz, 2006). Resiliensi
dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi
atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya The Resiliency
Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan
untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga
kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi
kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi
dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Menurut
Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi,
mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan
bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui pada
orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.
Dari
berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada
keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan
beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut
dan menjadi lebih baik.
2. Fungsi
resiliensi
Penelitian tentang resiliensi hanya
mencakup bidang yang kecil dan digunakan oleh beberapa profesional seperti
psikolog, psikiater, dan sosiolog. Penelitian mereka berfokus pada anak-anak,
dan mengungkapkan kepada kita tentang karakteristik orang dewasa yang resilien
(Reivich. K & Shatte. A, 2002).
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa
manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich
& Shatte, 2002):
a. Overcoming
Dalam kehidupan terkadang manusia
menemui kesengsaraan, masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat
untuk dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar
dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak
menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan
mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk
mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa
termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai
tekanan di dalam kehidupan.
b. Steering
through
Setiap orang membutuhkan resiliensi
untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam
dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa
terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien
dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang
perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering
through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu
keyakinan terhadap diri sendiri
bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai
masalah yang muncul.
c. Bouncing back
Beberapa kejadian
merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang
tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan
mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim,
menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap
untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma
dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented
coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk
mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka
dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke
kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan
dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi, selain
berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari
trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan
bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru.
Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu:
tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka
sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
3.
Aspek-aspek
resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :
a.
Emotion
Regulation
Regulasi emosi adalah
kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich &
Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki
kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga
hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor,
di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan
waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap
saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang
lain.
Semakin kita
terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang
pemarah (Reivich & Shatte, 2002). Tidak semua emosi yang dirasakan oleh
individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa
bersalah harus diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang
kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif
dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002),
mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk
melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).
Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang
tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang
mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.
b.
Impulse
Control
Pada tahun 1970,
Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari Emotional
Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam
pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang
berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing
ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing ruangan tersebut
telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masing-masing
peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang
waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah marshmallow
untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka
dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut sampai peneliti
kembali ke ruangan , maka mereka akan mendapatkan satu buah marshmallow lagi.
Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak tersebut
dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow,
memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik dibandingkan
anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte, 2002).
Pengendalian impuls
adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan,
serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002).
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku
mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran,
impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan
membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada
buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.Individu dapat
mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran,
sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut
Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji
keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah.
Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang
ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah
yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah
melihat permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’,
dll.
Kemampuan individu
untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang
ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang
tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience
Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002).
c.
Optimism
Individu yang resilien
adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa
depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh
seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa
depan. Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh
seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan
yang ada dan mengendalikan hidupnya.
Optimisme akan menjadi
hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-efficacy,
hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong
untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang
lebih baik (Reivich & Shatte, 2002). Tentunya optimisme yang dimaksud
adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah
kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala
usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana
kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang
signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy
adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d.
Causal
Analysis
Causal
analysis merujuk
pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus
berbuat kesalahan yang sama.
Seligman (dalam Reivich
& Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang
erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu.
Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal
(saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak
semua).
Individu dengan gaya
berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab
permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan
permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada
akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang
memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa
permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana
kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan
yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua). Gaya
berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak
mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya
individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua”
dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Individu yang resilien adalah individu
yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua
penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada
salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor
permanen maupun pervasif.
Individu yang resilien
tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi
menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari
rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di
luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh
pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada,
mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte,
2002).
e.
Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich &
Shatte, 2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,
seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa
yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif
(Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan
dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang
tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut
tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa
yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang
lain.Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain
dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan
personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan
dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua
keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
f.
Self-efficacy
Self-efficacy
adalah hasil dari pemecahan
masalah yang berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan
bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy
merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich &
Shatte, 2002).
g.
Reaching
out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk
mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu
resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Banyak
individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan
mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan
dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu- individu yang lebih memilih
memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus
berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini
menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate)
dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang.
Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan
mereka hingga batas akhir.
Daftar Pustaka :
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children
adjustment. 2nd edition .
New York: Prentice Hall International.
Fauzi, D.A. (2006). Perceraian Siapa Takut…!. Jakarta : Restu Agung
Reivich,
K & Shatte, A. (2002). The
resilience factor: 7 skills for overcoming life’s inevitable obstacles. New
York : Random House, Inc.
No comments:
Write comments