Tuesday, September 26, 2017

TRADISI CAROK


Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok.
Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan berbeda (kasus masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukanCarok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun caraCarok yang dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukanCarok, selain faktor lainnya.
Pada masyarakat Madura, pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal, kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktursosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan, tetapi harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan, pada setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status sosial masing-masing, akan tetapi ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo. Dalam bahasa Madura, selain kata malo, juga terdapat kata todus, yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus  mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaantodus.
Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi kebiasaan yang berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus  untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan merasa todus  kepada lingkungan sosialnya, dan akan disebut sebagai orang ta’tao todus (tidak tahu malu) ataujanggal (tidak mengerti etika kesopanan).
Dengan demikian, todus  muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya,malo  muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkannya harga dirinya. Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim adalah pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu.
Tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki Madura. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menebusnya kecuali membunuh orang yang mengganggunya. Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’ nyaba,yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok, perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial). Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan dilakukan oleh seorang suami.
Orang Madura yang malo  karena dilecehkan harga dirinya kemudian melakukan Carok disebut sebagai pelaku Carok. Akan tetapi, ketika Carokbenarbenar terjadi, yang dimaksud dengan pelaku Carok adalah kedua belah pihak, baik pihak yang merasa harga dirinya dilecehkan (yang menyerang) maupun pihak yang dianggap melakukan pelecehan itu (yang diserang).

Apabila seorang laki-laki yang dilecehkan harga dirinya,namun kemudian ternyata tidak berani melakukan Carok, orang Madura akan mencemoohnya sebagai tidak lakilaki (lo’lake). Bahkan, beberapa informan justru menyebutnya sebagai bukan orang Madura, seperti dikatakan oleh Gutte Bakir, salah seorangblater dan jagoan didesanya. Katanya, “Mon lo’bangal aCarok ajjha’ngako oreng Madhura” (jika tidak berani melakukan Carok jangan mengaku sebagai orang Madura). Jadi, orang Madura melakukan Carok bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut meskipun sebenarnya takut mati melainkan juga agar dia tetap dianggap sebagai orang Madura. Bila demikian halnya, Carok juga berarti salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan identitas etnisnya. Itu semua semakin memperkuat anggapan bahwa Carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya, melainkan tindakan kekerasan yang sarat dengan maknamakna sosial budaya sehingga harus dipahami sesuai dengan konteksnya.

No comments:
Write comments