Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika
diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan,
wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang
menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada
hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi
motivasi Carok.
Semua kasus Carok diawali oleh konflik,
meskipun konflik tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan berbeda (kasus
masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan
dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena
pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan,
mereka melekukanCarok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan
sosial. Apapun caraCarok yang dilakukan, semua pelaku Carok yang
berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga.
Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan
perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal
ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukanCarok, selain faktor lainnya.
Pada masyarakat Madura, pelecehan harga diri sama
artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal, kapasitas diri
seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam
struktursosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya
disadari oleh individu yang bersangkutan, tetapi harus mendapat pengakuan dari
orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan, pada setiap bentuk relasi sosial
antara satu orang dan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status
sosial masing-masing, akan tetapi ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi
orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari
peran dan sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo. Dalam
bahasa Madura, selain kata malo, juga terdapat kata todus, yang
dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks
kehidupan sosial budaya Madura,
antara malo dan todus mempunyai pengertian yang
sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan
perasaantodus.
Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu
ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya
berbagai kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi
kebiasaan yang berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara
dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu
akan merasa todus untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara
seperti itu. Jika kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan
ini maka dia akan merasa todus kepada lingkungan sosialnya, dan
akan disebut sebagai orang ta’tao todus (tidak tahu malu)
ataujanggal (tidak mengerti etika kesopanan).
Dengan demikian, todus muncul dari
dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang
dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya,malo muncul sebagai akibat
dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas
dirinya. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan
dilecehkannya harga dirinya. Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan
perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu.
Tindakan perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim
adalah pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang
etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung
perasaan malo) memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu.
Tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan
merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki Madura.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menebusnya kecuali membunuh orang
yang mengganggunya. Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut
sebagai aghaja’ nyaba,yang pengertiannya sama dengan tindakan
mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara
hak-hak dan kewajiban itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat,
misalnya dalam konteks Carok, perlindungan terhadap perempuan (istri),
menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan
mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak
tatanan sosial). Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan
yang melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh
karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan
harus dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada
dua alternatif yang akan dilakukan oleh seorang suami.
Orang Madura yang malo karena
dilecehkan harga dirinya kemudian melakukan Carok disebut sebagai
pelaku Carok. Akan tetapi, ketika Carokbenarbenar terjadi, yang
dimaksud dengan pelaku Carok adalah kedua belah pihak, baik pihak
yang merasa harga dirinya dilecehkan (yang menyerang) maupun pihak yang
dianggap melakukan pelecehan itu (yang diserang).
Apabila seorang laki-laki yang dilecehkan harga
dirinya,namun kemudian ternyata tidak berani melakukan Carok, orang Madura
akan mencemoohnya sebagai tidak lakilaki (lo’lake). Bahkan, beberapa informan
justru menyebutnya sebagai bukan orang Madura, seperti dikatakan
oleh Gutte Bakir, salah seorangblater dan jagoan didesanya.
Katanya, “Mon lo’bangal aCarok ajjha’ngako oreng Madhura” (jika tidak
berani melakukan Carok jangan mengaku sebagai orang Madura). Jadi,
orang Madura melakukan Carok bukan karena semata-mata tidak mau
dianggap sebagai penakut meskipun sebenarnya takut mati melainkan
juga agar dia tetap dianggap sebagai orang Madura. Bila demikian
halnya, Carok juga berarti salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan
identitas etnisnya. Itu semua semakin memperkuat anggapan
bahwa Carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya, melainkan tindakan
kekerasan yang sarat dengan maknamakna sosial budaya sehingga harus dipahami
sesuai dengan konteksnya.
No comments:
Write comments