Saturday, September 9, 2017

Perceraian

1.      Pengertian Perceraian
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami dan istri, yang kata bercerai itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami istri”. Dariyo (2013) mendefinisikan perceraian (divorce) sebagai suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan kesepakatan diantara mereka untuk tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai suami-istri.  Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraaian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam Undang-Undang. Sementara pengertian perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan bahwa perceraian itu merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.Namun, tidak dijumpai  sama sekali dalam Undang - Undang Perkawinan begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksanaannya.
2.      Jenis – Jenis Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.      Cerai hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
b.      Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang dicintai. Benaim mengatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.
3.      Penyebab Perceraian
ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian, yaitu :
a.      Usia saat menikah
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun.
b.      Tingkat pendapatan
Angka perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke atas.
c.       Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
d.     Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya adalah keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan yang dipandang  sah untuk seorang istri agar dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan suaminya umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami terhadap dirinya. Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul.
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang mampu menjalin hubungan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin menang sendiri (Gunarsa, 1999). Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya  ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.      Ketidak harmonisan dalam berumah tangga 
Ketidak harmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan dan lain-lain.
b.      Krisis moral dan akhlak
Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal,  bahkan utang piutang.
c.       Perzinahan 
Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat mengakibatkan berakhirnya percereaian.
d.     Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. 
4.      Dampak  Perceraian
1.        Traumatik
Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985). Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial. 
Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang dewasa yang sudah menikah. Hurlock (1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.
2.        Perubahan Peran dan Status
Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka.  Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami. Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya. Menurut Campbell  orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.
3.        Sulitnya Penyesuaian Diri
Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya.   Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup.
Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu 
1)      Menyangkal bahwa ada perceraian,
2)      Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat, 
3)      Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, 
4)      Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap kelurga, 
5)      Dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai. Perceraian menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi  perceraian ini, khususnya jika anak-anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan  dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi. Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.

Daftar pustaka
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall International.
Fauzi, D.A. (2006). Perceraian Siapa Takut…!. Jakarta : Restu Agung

No comments:
Write comments