1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti perihal bercerai antara suami dan istri, yang kata bercerai
itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami
istri”. Dariyo
(2013) mendefinisikan perceraian (divorce) sebagai suatu peristiwa
perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan kesepakatan diantara
mereka untuk tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai suami-istri. Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraaian
merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam
Undang-Undang. Sementara pengertian perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan bahwa perceraian itu merupakan
salah satu sebab putusnya perkawinan.Namun, tidak dijumpai sama sekali dalam Undang - Undang Perkawinan
begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksanaannya.
2.
Jenis
– Jenis Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.
Cerai
hidup
Perceraian
adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan
perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan
perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya
perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup. Perceraian
dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan
perkawinan mereka.
b.
Cerai
mati
Cerai
mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak
yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah
satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh
seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang dicintai. Benaim mengatakan
bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih
menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal
mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan
masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para wanita
yang ditinggal mati suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih
kompleks. Mereka harus memikirkan sumber masalah, sumber keuangan bagi
kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.
3.
Penyebab Perceraian
ada empat faktor
yang memberikan kontribusi terhadap perceraian, yaitu :
a.
Usia
saat menikah
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun.
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun.
b.
Tingkat
pendapatan
Angka
perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah
cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke
atas.
c.
Perbedaan
perkembangan sosio emosional diantara pasangan
Wanita
dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam
perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung
pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas maskulin,
kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
d.
Sejarah
keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada
sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai
cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan
lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya adalah
keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja
melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan yang dipandang sah untuk
seorang istri agar dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan suaminya
umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami
terhadap dirinya. Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan
kebencian merupakan tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur
perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul.
Perkawinan
menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling
cemburu, ketidakpuasan pelayanan suami/istri, kurang adanya saling pengertian
dan kepercayaan, kurang mampu menjalin hubungan baik dengan keluarga pasangan,
merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin
menang sendiri (Gunarsa, 1999). Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah
tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta
antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan
(Hadiwardoyo, 1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.
Ketidak
harmonisan dalam berumah tangga
Ketidak
harmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak
bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara
lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit
disatukan dan lain-lain.
b.
Krisis
moral dan akhlak
Perceraian
juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya
kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat,
pengaiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan,
terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c.
Perzinahan
Terjadinya
perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami
maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan
Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat
mengakibatkan berakhirnya percereaian.
d.
Pernikahan
tanpa cinta
Alasan
lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah
perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi
adanya cinta.
4.
Dampak
Perceraian
1.
Traumatik
Setiap
perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan
tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang
bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga
dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu
bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985). Hurlock
(1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak
kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan
tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial.
Stres
akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun
perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. Laki-laki dan perempuan
yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan
psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah
psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang dewasa yang sudah
menikah. Hurlock (1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada
anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka
karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena
faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya.
Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan
pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak
akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu.
2.
Perubahan
Peran dan Status
Efek
yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang
yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta
menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka. Baik pria mupun
wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian.
terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung
pada suami. Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai
kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk
mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang
maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan
aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari
pada anak-anak.
Setelah
bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual
secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin
hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang
mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya. Menurut
Campbell orang-orang yang bercerai
umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan
orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang
ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan
perkawinan mereka sebagai kegagalan personal.
3.
Sulitnya
Penyesuaian Diri
Kehilangan
pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan
itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang
diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita
yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang
bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan
sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman
lamanya. Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami
kekacauan pola hidup.
Beberapa
individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu
bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan
kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh
diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan
permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan
dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman
dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan
penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian
setelah terjadinya penyesuaian yaitu
1)
Menyangkal
bahwa ada perceraian,
2)
Timbul
kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,
3)
Dengan
alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,
4)
Mereka
mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian
terhadap kelurga,
5)
Dan
akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Dampak
perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang
sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai. Perceraian
menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini,
khususnya jika anak-anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini
sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.
Masa
ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut
hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus
mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada
umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan
bahwa orang tuanya tidak bersama lagi. Namun banyak wanita dan pria yang
merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian
tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru
(Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan
bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin
berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan
diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa
dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian
kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada
dalam keluarga.
Daftar pustaka
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children
adjustment. 2nd edition .
New York: Prentice Hall International.
Fauzi, D.A. (2006). Perceraian Siapa Takut…!. Jakarta : Restu Agung
No comments:
Write comments