Dimulai
dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas
hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam
meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan
kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada
konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas,
kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan
kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa
“situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Berlawanan
dengan kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “Situasi Status”
didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang
ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau
negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup
atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor,
seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status
dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang
dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang
menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah.
Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun,
kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan
menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya
mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan
beberapa bentuk wewenang dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan
dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai
tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota
masyarakat. Sedangkan kekuasaan
dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata
lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi
atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke
dalam tiga tipe berikut.
1.
Ratonal-legal
authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan)
yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh
organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.
Traditional
authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan
tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang
dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme.
Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas
senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional
memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme,
patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin
bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang
mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan
patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama.
Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang
disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang
bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang
pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya
sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran
terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh
patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah
tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas
pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang
ditaklukannya.
Ciri
khas dari wewenang baik patriarkhalisme
maupun patrimonialisme adalah adanya system norma yang dianggap keramat yang tidak dapat
diganggu gugat. Pelanggaran atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang
bersifat gaib maupun yang bersifat religious. Si pemegang kekuasaan dari
wewenang sedemikian ini dalam merumuskan keputusan-keputusannya adalah atas
dasar pertimbangan pribadinya dan bukan atas dasar pertimbangan fungsinya.
Dalam pengertian ini wewenang tradisional sedemikian ini lebih bersifat
irrasional.
3.
Charismatic
authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena
kualitas yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus
dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah
kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka.
Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang –
orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di
mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada
kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat
dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan
sebagainya.
B. Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan
Tindakan Sosial.
Minat Weber yang begitu
luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan rasionalisme “kebudayaan
barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh
definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia
membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi
mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber
mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas
sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk
pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman
tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu
tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah
keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai,
strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas:
1.
Tipe
rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg
sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas
duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan
egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya
ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi
sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2.
Rasionalitas
teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas
melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan.
Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
3.
Rasionalitas
substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti
rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam
sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantif melibatkan
sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai
(secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi,
tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam
ada postulat nilai yang konsisten.
4.
Rasionalitas
formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun
seluruh tipe rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui
sejarah, rasionalitas formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya
industrialisasi.
Rasionalitas formal dan
substantif. Rasionalitas formal dapat didefinisikan berdasarkan enam ciri
utama. Pertama, struktur dan institusi rasional formal menekankan
kalkulabilitas. Kedua, fokus pada efisiensi, pencarian cara terbaik untuk
mencapai tujuan tertentu. Ketiga, perhatian besar pada terjaminnya
prediktibilitas. Keempat, sistem rasional formal secara progresif mengurangi
teknologi manusia dan pada akhirnya menggantikan teknologi manusia dengan
teknologi nonmanusia. Kelima, sistem rasional formal berusaha melakukan kontrol
atas ketidakpastian. Akhirnya, sistem rasional cenderung mengandung serangkaian
konsekuensi irasional bagi orang yang terlibat didalamnya dan bagi sistem itu
sendiri, maupun bagi masyarakat yang lebih luas. Rasionalitas formal beelawanan
dengan semua tipe rasionalitas lain, terutama bertentangan dengan rasionalitas
substantif. Weber percaya bahwa konflik antara kedua jenis rasionalitas
tersebut memainkan peran penting dalam pemahaman terhadap proses rasionalisasi
di Barat.
Rasionalisasi dalam
berbagai setting sosial. Ketika kita bergerak dari suatu setting ke setting
lainnya, seperti Weber, kadang-kadang kita memusatkan perhatian pada
rasionalisasi secara umum dan pada kesempatan lain memusatkan perhatian pada
tipe rasionalisasi yang khusus.
Weber memilih konsep rasionalitas
sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Konsep ini sama pentingnya dengan
konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan
intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat
perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut
peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini tercermin
dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi
sosial, hal ini juga juga terungkapkan dalam evolusi musik Barat. Meskipun
musik sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa musik
juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan
kebudayaan Bbarat yang modern. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu
kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta
motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria
rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan
suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan
sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. Beberapa
masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik
pandangan ini. Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya
berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan
logika (kegiatan otak) atau pada hati (seperti perasaan, sentimen, emosi) kalau
menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat
rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin
hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan, dan bukan suatu
perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran mengapa kadang-kadang
pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau mendorong kita untuk
bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa tindakan orang lain
itu sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu
menjelaskan alasan bagi tindakan itu—mesipun kriteria yang kita gunakan untuk
penilaian seperti itu mungkin agak longgar. Misalnya, mungkin kelihatannya
masuk akal bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal sebuah mobil besar yang
kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati ketika
mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu
memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau
pembenaran seperti itu sebenarnya merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post
facto tentang tindakan, yang diberikan dengan alasan-alasan yag sangat berbeda.
Pareto, misalnya, melihat kebanyakan tindakan itu bersifat nonlogis (muncul
dari perasaan), dan yang lalu dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat
diterima secara sosial.
Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul sehubungan dengan rasionalitas malah menjadi lebih kompleks apabila
kita melihat perannya dalam institusi-institusi sosial. Sejauh mana institusi
sosial dan organisasi mencerminkan tipe rasionalitas? Salah satu sumbangan
Weber yang paling masyhur terhadap sosiologi adalah analisa klasiknya mengenai
birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling rasional
(secara teknis bersifat efesien) dirancangkan. Dalam pengertian apa suatu
birokratis itu merupakan tipe organisasi sosial yang rasional? Dalam masyarakat
modern yang dikendalikan secara birokratis ini, kita sering mengalami
aspek-aspek tertentu dalam birokrasi yang tidak rasional, khususnya kalau kita
dipaksa untuk berinteraksi dengan nasabah atau para langganan. Apa yang
membatasi rasionalitas? Apakah rasionalitas suatu organisasi sosial merupakan
suatu tipe yang berbeda atau berada pada tingkat yang berbeda dari yang
bersifat individual.
Kita
tahu, misalnya, bahwa individu dalam posisi yang rendah dalam satu organisasi
birokratis malah tidak sadar bagaimana sumbangannya yang khusus itu dihubungkan
dengan yang dari ratusan orang lainnya dalam suatu sistem kegiatan yang saling
tergantung dan sangat terkoordinasi secara rasional. Rasionalitas di tingkat
individual dan di tingkat organisasi mungkin mencerminkan kriteria yang berbeda
di mana keduanya tidak saling mengimplisit. Jawaban yang hanya “ya” atau
“tidak” terhadap pertanyaan apakah tindakan manusia bersifat rasional atau
tidak, adalah tidak mungkin. Tentu ada aspek rasional atau intelektual dalam
kebanyakan perilaku manusia. Penggunaan teori implisit dalam menggambarkan
pengalaman seseorang di masa lampau, dan dalam mengembangkan rencana untuk masa
depan (seperti didiskusikan dalam Bab I) jelas merupakan suatu proses
intelektual. Tetapi ada yang lebih lagi dalam perilaku manusia. Suatu aspek
perasaan juga tercakup dalam tindakan, seperti nilai dan tujuan yang berada di
luar kriteria perhitungan rasional. Analisa mengenai tempat rasionalitas dalam
tindakan manusia menuntut kita untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan
rasionalitas khususnya, dan tingkatannya baik secara individual maupun
institusional di mana istilah ini diterapkan. Sebelum mendiskusikan sumbangan
Weber terhadap teori sosiologi, kita akan melihat sepintas kilas kehidupan
Weber serta konteks intelektual dan sosial di mana dia hidup.
Berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial.
Menurut
Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi, tindakan sosial menurut Max Weber, “Tindakan
sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu
lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial
adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan
berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber membedakan
tindakan sosial kedalam 4 kategori
1. Zweek
Rational
Yaitu tindakan yang
dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan
ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah
tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan
tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk
keperluan efisiensi.
2. Wert
Rational
Tindakan sosial jenis ini
hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional instrumental,
hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh
pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan
keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka
karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3. Affectual
Rational
Tindakan ini dilakukan
seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan
karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau
emosi tanpa perhitungan dan pertimbangan
yang matang.
4. Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam
ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan
tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau
tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya
adalah sekedar kebiasaan.
C. Pemikiran Weber tentang
Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Diawali
oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama
adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia
mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya
barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya
terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu
saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap
upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang
pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi
pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah
meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal
ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang
sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik
mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik
Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama
tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana
kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta
sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan
ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya
Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan
baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan
tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu
muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk
masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka
dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil
dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan
menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu
mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk
neraka.
Doktrin
Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi
serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu
berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan
dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di
akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan
pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat
dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan
dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat,
artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat
dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan
dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu
itu masuk neraka.
Upaya
untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda
yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi
juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh
Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas
imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama
bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke
Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat
mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti
itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi
kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan
kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya
berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang
bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan
ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka
mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang
digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat,
infaq dan shadaqah.
Menurut
Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki
ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan
kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup,
kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh
manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang
terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan
kelompok manusia.
Selain
membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga
membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian
Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas
kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya
yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya
tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang
sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak
menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional
dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua
dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber
memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang
mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa)
yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa
kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas
pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi
masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan
apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami
sejarah kehidupannya,
Dalam
berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki
akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang
membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat
perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah
warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan
jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap
roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan
perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi
suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan
Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana
mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada
bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada
berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang
Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi
sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat
modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi
batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi
dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering
disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat
istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa
patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang
pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua
merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan
keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang
istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang
diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin
politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi
karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah
terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal
dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional.
Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang
berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan
Negara-negara lain yang demokratis.
Ada
yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi
hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan
ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini
ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber
adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta
melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan
kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah
tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan
yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh
orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka
mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal.
Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik
tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita
melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki
tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual
atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami
revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya
masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya
oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara
kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak
bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada
kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini,
contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa
merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai
hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih
berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak
serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari
perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik
tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku
ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan
dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan,
ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan
esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya
mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga
birokrasi.
Weber
selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri
administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi
dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal
termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa
karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi
secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah
ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan
tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen
tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian
yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu
merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat
birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup
banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi,
sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan
dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa
Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku
ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber.
Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang
membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada
suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat
mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi
struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti
didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas
hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada
dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu
mendasari semua teoritiknya.
Isi
buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya
teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya
menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini
memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak
para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana
sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk
dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya,
makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga
lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun
dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran
yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku
sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku
ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya
yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah
surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru
bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang
zaman. Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen,
Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja
yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’
dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada
masalah-masalah agama dan politik.
KESIMPULAN
·
Kelas
Kelas
dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang
sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja.
·
Status
Status
oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian
status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah
jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status
terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait
dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup
berbeda dengan yang ada di bawah.
·
Kekuasaan
Kekuasaan
dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata
lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi
atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
·
Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan
Tindakan Sosial.
Weber
mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas
sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk
pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman
tentang rasionalisasi skala-luas yang
dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan
yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan
dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
· Tipe-tipe rasionalitas:
1. Rasionalitas praktis
2. Rasionalitas teoritis
3. Rasionalitas substantive
4. Rasionalitas formal
Menurut Max Weber
tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu,
suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan
perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Max Weber membedakan
tindakan sosial kedalam 4 kategori:
1.
Zwerk Rational yaitu tindakan yang
dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan
ditempuh untuk meraih tujuan itu.
2.
Wert Rational yaitu tindakan-tindakan
sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada
nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk
keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.
Tindakan afektif yaitu tindakan ini
terjadi dibawah pengaruh keadaan emosional seseorang.
4.
Tindakan sosial yang bersifat Tradisional
yaitu tindakan yang dilakukan dibawah pengaruh adat dan kebiasaan. Hal tersebut
dilakukan secara sadar dan berdasarkan pada tindakan yang tradisional, bahkan
tindakan tersebut mengandung nilai subjektif dan tidak dapat dipahami.
Ø Pemikiran
Weber tentang Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Max
Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die
Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan
bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang
bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan
fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan
corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku
individu.
Upaya
untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda
yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi
juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh
Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas
imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama
bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke
Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
No comments:
Write comments