Advertisement

Thursday, October 3, 2019

Pengertian Norma Menurut Beberapa Ahli


Pengertian Norma 
 Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, kriteria, atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi masyarakat dalam berbuat, bertingkah laku dan berinteraksi antar manusia sehingga terbentuk masyarakat yang tertib, teratur dan aman. agar lebih memahami tentang norma mari kita lihat pendapat para ahli tentang definisi norma. Berikut ini adalah pengertian norma menurut beberapa ahli:

1. Isworo Hadi WiyonoIsworo 
Hadi Wiyono berpendapat bahwa pengertian norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.


2. Soerjono Soekano
Menurut Soerjono Soekano, pengertian norma yaitu suatu perangkat aturan agar hubungan antar manusia di dalam masyarakat terjalin dengan baik.

3. E. Ultrecht
Sedangkan menurut E. Ultrecht, arti norma adalah petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat atau bangsa yang mana peraturan itu diwajibkan untuk ditaati oleh setiap masyarakat, jika ada yang melanggar maka akan ada tindakan dari pemerintah.

4. John J. Macionis
John J. Macionis memberikan pengertian bahwa norma adalah aturan-aturan dan harapan-harapan masyarakat yang memandu sebuah perilaku anggota-anggotanya.

5. Robert Mz. Lawang
Bagi Robert Mz. Lawang, arti norma yaitu gambaran mengenai apa yang diinginkan baik dan pantas sehingga sejumlah angggapan yang baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya.

6. Broom dan Selznic
Broom dan Selzniceng mendefinisikan pengertian norma sebagai rancangan ideal mengenai perilaku manusia yang mana memberikan batasan untuk anggota-anggota masyarakat guna mendapatkan tujuan hidupnya.

7. Antony Giddens
Sedangkan  Antony Giddens berpendapat bahwa pengertian norma adalah suatu prinsip atau aturan yang konkret, yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat.

8. Craig Calhoun
Dan menurut Craig Calhoun, pengertian norma yaitu pedoman atau aturan yang menyatakan mengenai bagaimana seseorang supaya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.

Ciri-Ciri Norma
Untuk mengenali norma yang berlaku di masyarakat kita dapat memperhatikan karakteristiknya. Berikut ini merupakan beberapa ciri-ciri norma:


  • Biasanya norma tidak tertulis, kecuali norma hukum. 
  • Norma mempunyai sifat mengikat dan terdapat sanksi di dalamnya.
  • Norma adalah bentuk kesepakan bersama dari anggota masyarakat.
  • Seluruh anggota masyarakat wajib menaati norma yang berlaku.
  • Anggota masyarakat yang melanggar norma akan dikenakan sanksi.
  • Norma dapat mengalami perubahan sesuai perkembangan budaya masyarakat.
  • Fungsi Norma di Dalam Kehidupan Masyarakat

Fungsi dan peranan norma dalam masyarakat secara umum adalah sebagai pedoman bagi seluruh masyarakat dalam berperilaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa contoh fungsi norma bagi masyarakat:

  • Norma berfungsi sebagai pedoman dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Norma menciptakan keteraturan dan stabilitas dalam bermasyarakat.
  • Sebagai dasar dalam memberikan sanksi kepada anggota masyarakat yang melanggar.
  • Norma menciptakan keterlibatan dan keadilan dalam bermasyarakat.
  • Norma membantu masyarakat dalam mencapai tujuan bersama.


Jenis-Jenis Norma Dalam Masyarakat

Pengertian Norma
C.J.T. Kansil berpendapat bahwa norma dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam. Dan berikut ini penjelasan mengenai macam-macam norma yang ada di masyarakat:


  1. Norma Hukum

Norma hukum adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peraturan ini bersumber dari perundang-undangan dan yurisprudensi. Fungsi dari norma hukum ini antara lain:


  • Berfungsi sebagai pelengkap norma lain dengan sanksi yang tegas dan nyata.
  • Berfungsi mengatur berbagai hal yang belum ada pada norma lain.
  • Namun terkadang norma hukum bertentangan dengan norma lain. Misalnya saja hukuman mati, padahal pada norma lain ada larangan untuk membunuh.
  • Biasanya sanksi yang diberikan kepada pelanggar norma hukum sifatnya tegas, memaksa, mengikat terhadap semua orang. Misalnya saja hukuman penjara atau tahanan, denda, bahkan hukuman mati. 


Contoh dari Norma Hukum

  • Kewajiban untuk membayar pajak.
  • Dilarang mencuri dan merampok.
  • Dilarang melakukan tindak kekerasan atau membunuh.
  • Setiap pengendara wajib memperhatikan dan mengikuti rambu lalu lintas.


2. Norma Agama

Norma agama menjadi pedoman hidup manusia yang sumbernya dipercaya dari Tuhan yang Maha Esa. Untuk norma ini bersifat pasti, tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditambah. Pemeluk agama tertentu meyakini jika norma agama mengatur tentang peribadatan dan dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan juga dengan penciptanya. Dalam norma agama juga terdapat sanksi yaitu berupa hukuman di akhirat. Dengan kata lain, sanksi norma agama tidak langsung diberikan, namun akan diberikan setelah manusia meninggal dunia. 

Contoh dari Norma Agama:


  • Tidak diizinkan untuk mencuri.
  • Tidak boleh berzina.
  • Harus melakukan perintah yang tertulis dalam kitab suci.
  • Tidak boleh membunuh.
  • Tidak boleh berbuat jahat dan kasar pada orang lain.
  • Harus melakukan peribadatan sesuai dengan kepercayaan.

3. Norma Kesusilaan

Norma kesusilaan adalah aturan atau pedoman hidup yang dianggap sebagai suara dari sanubari manusia yang berhubungan dengan baik-buruknya suatu perbuatan. Untuk norma kesusilaan biasanya pemberian sanksi bersifat tidak tegas. Bentuk sanksi norma kesusilaan biasanya lebih banyak pada rasa malu, rasa bersalah, penyesalan atas pelanggaran. 

Contoh dari Norma Kesusilaan:

  • Harus jujur pada orang lain untuk membangun kepercayaan.
  • Harus berbuat baik pada sesama.
  • Tidak boleh mencuri hak milik orang lain.
  • Harus berlaku adil pada semua orang.


4. Norma Kesopanan

Norma kesopanan adalah peraturan yang muncul dari hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat dan dianggap penting dalam pergaulan masyarakat. Untuk norma ini bersumber dari budaya masyarakat itu sendiri yang sifatnya relatif dan berbeda-beda di berbagai lingkungan dan waktu.

Sanksi yang diberikan kepada seorang pelanggar norma kesopanan sifatnya tidak tegas. Bentuk sanksi norma ini umumnya adalah celaan atau ejekan dari orang lain yang menyebabkan rasa malu, dan dikucilkan dari masyarakat.

 Contoh dari Norma Kesopanan:


  • Kebiasaan untuk memberikan salam atau menyapa pada orang lain.
  • kebiasaan untuk membuang sampah pada tempatnya.
  • Harus bertutur kata baik dan tidak kasar.
  • Harus menghargai orang yang lebih tua.


5. Norma Kebiasaan

Norma kebiasaan adalah aturan sosial yang terbentuk secara sadar atau pun tidak sadar, dimana terdapat petunjuk perilaku secara terus menerus yang akhirnya menjadi kebiasaan. Sanksi yang diberikan kepada seorang pelanggar norma kebiasaan ini biasanya berupa kritikan, ejekan, bahkan dikucilkan dari masyarakat.

 Contoh dari Norma Kebiasaan:


  • Kebiasaan mandi teratur setiap hari.
  • Menggosok gigi setiap hari untuk kebersihan mulut.
  • Selalu membaca doa sebelum makan dan tidur.
  • Kebiasaan membelikan oleh-oleh pada orang tua atau kerabat.

Sunday, September 29, 2019

Sejarah Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

Sejarah Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)


PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau atau dalam bahasa Jepang disebut Dookuritsu Junbi Iinkai adalah panitia yang bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI setelah BPUPKI dibubarkan Jepang pada 7 Agustus 1945. Selain itu, PPKI juga bertugas meresmikan pembukaan atau preambule dan batang tubuh UUD 1945. PPKI diresmikan oleh Jendral Terauchi pada 9 Agustus 1945 di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Peresmian ini dihadiri oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.



PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno, dengan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Anggotanya sendiri berjumlah 21 orang yang merupakan tokoh utama pergerakan nasional Indonesia. Anggota PPKI terdiri dari berbagai etnis Nusantara, meliputi 12 orang etnis Jawa, 3 orang etnis Sumatera, 2 orang etnis Sulawesi, 1 orang etnis Kalimantan, 1 orang etnis Nusa Tenggara, 1 orang etnis Maluku, dan 1 orang etnis Tionghoa.


Yang termasuk anggota PPKI antara lain: Mr. Soepomo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R. P. Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Abdoel Kadir,  Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran Poerbojo, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr. GSSJ Ratulangi, Andi Pangerang, A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr. Johannes Latuharhary, Drs. Yap Tjwan Bing. Kemudian, tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang, anggota PPKI bertambah lagi 6 orang, yaitu: Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A. A. Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo, Iwa Koesoemasoemantri.



Golongan muda memberikan sikap tidak suka pada PPKI. Mereka menganggap PPKI sebagai suatu badan bentukan pemerintah pendudukan militer Jepang yang sudah tentu memihak Jepang. Akan tetapi, di lain pihak, PPKI adalah sebuah badan yang sangat berguna dalam mempersiapkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan Indonesia merdeka, perlu dipersiapkan segala macam keperluan bagi berdirinya suatu negara. Meski demikian, baik cepat atau lambat, kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan oleh pemerintah Jepang tergantung kepada kerja PPKI.


Pada akhirnya, Jendral Terauchi memberikan keputusan bahwa pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan kemerdekaan Indonesia tersebut diserahkan sepenuhnya kepada PPKI.



PPKI semula berencana mengadakan sidang pada 16 Agustus 1945, tetapi tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok ini berhubungan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu (15 Agustus 1945) sehinggga golongan muda mendesak agar segera mempersiapkan kemerdekaan. Golongan pemuda yang termasuk di dalamnya Soekarni, Adam Malik, Kusnaini, Sutan Sjahrir, Soedarsono, Soepomo, dan kawan-kawan mendesak Ir. Soekarno agar segera mengumandangkan proklamasi. Namun sebaliknya, golongan tua menolak dengan alasan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dipersiapkan secara matang.


Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan yang dilakukan golongan muda, dalam hal ini dilakukan oleh Adam Malik dan Chaerul Saleh terhadap Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Pada pukul 04.30 WIB, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk didesak menyegerakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka mendesak sampai tercapai kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda mengenai waktu pelaksanaan proklamasi.


Pembacaan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta semula direncanakan akan dilakukan pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah dibuat dan bendera merah putih juga sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada hari sebelumnya, Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka telah berpikir keesokan harinya Indonesia akan merdeka.


Kunto dan Achmad Soebardjo yang tidak mendapat kabar dari Jakarta, memutuskan ke Rangasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Moh. Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.


Keesokan harinya, 17 Agustus 1945 dilakukan upacara pembacaan proklamasi dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Proklamasi diperdengarkan kepada ribuan bangsa Indonesia secara rahasia melalui siaran oleh pegawai radio menggunakan pemancar yang dikontrol Jepang.


Sidang PPKI



Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan persidangan di bekas Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon. Dalam sidang tersebut, dalam hitungan belasan menit terjadi permusyawarahan antara kelompok yang berbeda pendapat mengenai sila pertama Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Piagam Jakarta. Kelompok keagamaan non-Muslim dari Timur dan kelompok kaum keagamaan penganut ajaran kebatinan serta golongan nasionalis keberatan terhadap tujuh kata itu, sehingga mereka meminta kelapangan hati para tokoh dari kelompok Islam agar bersedia dilakukan bengubahan. Pada akhirnya permusyawarahan itu berhasil membujuk pihak tokoh-tokoh golongan Islam agar bersedia menghapuskan tujuh kata sila pertama Pancasila yang tertuang dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dan menggantinya.


Setelah itu, Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang PPKI melakukan pembacaan tentang empat perubahan hasil kesepakatan dan kompromi atas perbedaan pendapat para golongan tersebut. Hasil sidang tersebut adalah:


Kata “Muqaddimah” yang merupakan kata bahasa Arab pada preambule Undang-Undang Dasar diganti dengan kata “Pembukaan”.

Pada Pembukaan alenia keempat, berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ini sekaligus mengganti sila pertama Pancasila.

Pada Pembukaan alenia keempat, kalimat “Menurut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” diganti menjadi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini sekaligus mengganti sila kedua Pancasila.

Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” diganti menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.

Sidang pertama PPKI menyepakati hasil antara lain:


Melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Setelah sebelumnya terjadi sedikit perubahan di dalamnya.

Memilih, menetapkan, dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia. Keputusan akhirnya ditetapkan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk sementara waktu, presiden dibantu oleh komite bernama KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebelum DPR dan MPR dibentuk.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, diadakan sidang kedua PPKI. Hasil sidang kedua tersebut menghasilkan:


Membentuk kabinet yang terdiri atas 12 Kementrian dan 4 Mentri Negara.

Membentuk Pemerintah Daerah, yang tiap-tiap daerah dipimpin oleh seorang Gubernur.

Selanjutnya, sidang ketiga PPKI dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 1945. Hasil sidang ketiga PPKI antara lain:


Pembentukan Komite Nasional di samping telah adanya Komite Nasional Indonesia Pusat.

Pembentukan Partai Nasional sebagai partai politik.

Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Demikianlah PPKI sebagai panitia yang mempersiapkan pemerintahan Indonesia merdeka. Sidang-sidang PPKI itu kemudian menghasilkan dan membentuk apa yang dibutuhkan bagi suatu negara yang telah berdiri.

Sejarah Pembentukan BPUPKI

Sejarah Pembentukan BPUPKI Lengkap

Indonesia tidak serta merta merdeka ada beberapa usaha-usaha yang dilakukan para pejuang untuk memerdekakan bangsa indonesia salah satunya dengan mempersiapkan kemerdejaan indonesia melalui BPUPKI; Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa Jepang disebut  Dookoritsu Junbi Coosakai adalah suatu badan bentukan pemerintah Jepang pada masa penjajahan di Indonesia. BPUPKI dibentuk pada 29 April 1945 dan bertujuan untuk mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dengan memberikan janji akan membantu proses terealisasikannya kemerdekaan Indonesia. BPUPKI diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota semula berjumlah 70 orang, terdiri atas 62 orang Indonesia dan 8 orang istimewa Jepang yang hanya bertugas mengamati (observer), kemudian pada sidang kedua ditambah 6 orang anggota dari Indonesia.
Upacara peresmian BPUPKI dilangsungkan di gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon (Sekarang gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta, pada tanggal 28 mei 1945. Upacara peresmian BPUPKI itu juga dihadiri oleh dua orang pejabat Jepang, yaitu Jendral Itagaki dan Letnan Jendral Nagano. Pada upacara itu bendera jepang dikibarkan oleh Mr. A. G. Pringgodigdo, kemudian pengibaran bendera merah putih oleh Royohiko Masuda. Latar belakang pembentukan BPUPKI secara tertulis termuat dalam Maklumat Gunseikan nomor 23 tanggal 29 Mei 1945. Sebab dikeluarnya Maklumat No. 23 itu adalah  karena kedudukan Jepang yang sudah semakin terancam pada perang melawan sekutu. Sehingga dapat dikatakan kebijaksanaan Pemerintah Jepang sesungguhnya dengan membentuk BPUPKI bukanlah atas kebaikan hati yang murni, tetapi Jepang ingin memikat hati rakyat Indonesia untuk mempertahankan sisa-sisa kekuatannya. Selain itu juga untuk melaksanakan politik kolonialnya.


Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945)

Sidang pertama BPUPKI diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta (sekarang gedung Pancasila). Sidang dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai pada tanggal 29 Mei 1945. Ada tiga puluh tiga pembicara pada sidang pertama yang membahas perumusan dasar negara Indonesia ini. Adapun tokoh-tokoh yang menyumbangkan pendapat tentang usulan dasar negara, antara lain: Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.


Mr. Mohammad Yamin (29 Mei 1945)
Moh. Yamin mengusulkan dasar negara dalam pidato singkatnya pada sidang hari pertama, yaitu:

Peri Kebangsaan.
Peri Kemanusiaan.
Peri Ketuhanan.
Peri Kerakyatan.
Kesejahteraan Rakyat.

Moh. Yamin juga menyampaikan usulan rumusan 5 dasar secara tertulis, yaitu:

Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebangsaan Persatuan Indonesia.
Rasa Kemanusian yang Adil dan Beradab.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Mr. Soepomo (31 Mei 1945)
Dalam penyampaian pendapatnya, Mr. Soepomo menerangkan 3 teori tentang negara, yaitu:

Negara individualistik, yaitu negara yang disusun dengan mengutamakan kepentingan individu sebagaimana yang diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, Hebert Spencer, dan H. J. Laski.
Negara golongan (class theori), yaitu negara yang terdiri atas golongan yang diajarkan Marx, Engels, dan Lenin.
Negara Integralistik, yaitu negara yang tidak memihak pada golongan-golongan tertentu, tetapi berdiri di atas kepentingan bersama sebagaimana diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.

Mr. Soepomo mengusulkan negara integralistik (negara persatuan) diterapkan pada negara Indonesia, yaitu negara satu untuk semua orang. Sementara itu, rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo antara lain:

Paham Persatuan.
Perhubungan Negara dan Agama.
Sistem Badan Permusyawaratan.
Sosialisasi Negara.
Hubungan antar Bangsa yang Besifat Asia Timar Raya.

Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Ir. Soekarno mengusulkan rumusan dasar negara yang diberi nama Pancasila. Rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Ir. Soekarno, yaitu:

Kebangsaan Indonesia.
Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
Mufakat atau Demokrasi.
Kesejahteraan Sosial.
Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Kelima asas usulan Ir. Soekarno tersebut, dapat diperas menjadi Trisila atau Tiga Sila, yaitu: Sosionasionalisme; Sosiodemokrasi; Ketuhanan yang berkebudayaan. Bahkan menurut Ir. Soekarno, Trisila tersebut bila diperas lagi dapat menjadi Ekasila, yaitu sila gotong royong.

Setelah bermusyawarah, sidang BPUPKI sepakat menjadikan Pancasila sebagai nama dasar negara Indonesia. Pada 1 Juni 1945 inilah ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pada hari yang sama, tepatnya tanggal 1 Juni 1945, juga dibentuk Panitia Delapan, yang anggotanya berjumlah delapan orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo, A. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Mr. Moh. Yamin, dan Mr. A. A. Maramis. Tugas Panitia Delapan ini adalah menampung dan mengidentifikasi rumusan dasar negara pada sidang BPUPKI. Dari Panitia Delapan kemudian diketahui terdapat perbedaan usulan dasar di antara golongan. Golongan Islam menghendaki negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis tidak menghendaki dasar negara dengan syariat agama tertentu

Panitia Sembilan
Hingga akhir sidang pertama BPUPKI, belum diperoleh kesepakatan utuh tentang rumusan dasar negara. Oleh karena itu, akhirnya dibentuk Panitia Sembilan untuk menerima dan menengahi berbagai masukan. Panitia Sembilan diketuai oleh Ir. Soekarno dengan Moh. Hatta sebagai wakilnya, dan anggota yang terdiri atas golongan Islam dan golongan nasionalis, antara lain: Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Muhammad Yamin, KH. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzaki, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim dan Mr. A.A. Maramis. Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengadakan pertemuan dan berhasil menghasilkan rumusan dasar negara yang tertuang dalam hukum dasar atau yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter):

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Adapun isi dari piagam Jakarta yaitu:

Piagam Jakarta
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Panitia Sembilan

1. Soekarno
2. Achmad Soebardjo
3. Abdul Kahar Muzakkir
4. Alex Andries Maramis
5. Abikoesno Tjokrosoejoso
6. Mohammad Hatta
7. Abudul Wahid Hasyim
8. H.Agus Salim
9. Mohammad Yamin

Sidang Kedua BPUPKI (10-17 Juli 1945)

Sidang kedua BPUPKI membahas tentang bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar beranggotakan 19 orang dengan Ir. Soekarno sebagai ketua, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai ketua, dan Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan Mohammad Hatta sebagai ketua. Melalui hasil pemungutan suara, ditentukan wilayah Indonesia merdeka meliputi wilayah Hindia Belanda, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

Pada 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD membentuk panitia kecil beranggotakan 7 orang yaitu: Prof. Dr. Mr. Soepomo, Mr. Wongsonegoro, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim, dan Dr. Soekiman untuk membuat laporan rancangan UUD. Selanjutnya pada 13 Juli 1945, Panitia Perancang UUD melakukan sidang pembahasan hasil kerja panitia kecil beranggota 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang BPUPKI menerima hasil laporan Panitia Perancang UUD yang disampaikan oleh Ir. Soekarno selaku ketua. Laporan tersebut berisi rancangan UUD, yaitu:

Pernyataan mengenai kemerdekaan IndonesiaPembukaan Undang-Undang Dasar atau preambule Batang tubuh Undang-Undang Dasar atau isi Setelah selesai melaksanakan tugas, BPUPKI kemudian dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 dan sebagai gantinya dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). PPKI bertugas melanjutkan tugas mencapai kemerdekaan Indonesia, yaitu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan utama mengesahkan dasar negara dan UUD 1945. beberapa hal di atas adalah sedikit tambahan ilmu yang dapata kami berikan apabila ada hal yang kurang tepat silahkan comment atau b isa email kami.terima kasih

Tuesday, December 19, 2017

Kearifan Lokal di Jawa Tengah

Globalisasi akan menghilangkan sekat-sekat budaya satu dengan lainnya. Dalam era itu karakter budaya tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan dengan budaya global yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu yang berbasis budaya etnis akan semakin luntur, termasuk perlakuan terhadap budaya Jawa. Saat ini sudah saatnya konsep globalisasi dimaknai ulang agar budaya Jawa dapat berdiri kukuh bersanding dengan budaya lain baik di tingkat nasional, regional, bahkan pada tingkat internasional.

Salah satu upaya untuk mengenalkan dan mempertahankan budaya Jawa yang komprehensif adalah melalui dunia akademis. Salah satu upaya tersebut dapat melalui pembuatan bahan ajar yang berbasis pada kearifan lokal budaya Jawa untuk pembelajaran . Kegiatan ini selain bermanfaat bagi pemelajar , juga akan membantu dalam upaya pemeliharaan dan pendokumentasian budaya Jawa. Bahan ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk merevitalisasi budaya Jawa dan sebagai pemicu ketertarikan orang asing dalam mengenal budaya Jawa yang pada akhirnya orang asing akan semakin mengerti dan memahami keluhuran budaya tersebut.

Budaya Jawa memiliki kearifan lokal yang sangat kaya. Kearifan lokal terdapat dalam semua aspek kehidupan budaya Jawa. Kekayaan dan keberagaman kearifan lokal inilah yang akan dikembangkan sebagai bahan ajar . Selain kandungan kearifan lokal yang sangat menarik, saat ini juga ada anjuran UNESCO untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kearifan lokal kepada masyarakat dunia yang dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam menangani permasalahan kehidupan. Untuk itu, kearifan lokal budaya Jawa perlu diangkat, didokumentasikan, dilestarikan, dan direvitalisasi. Dalam makalah ini akan diuraikan bagaimana kearifan lokal budaya Jawa dapat digunakan sebagai bahan ajar BIPA yang sangat bermanfaat bagi pemertahanan eksistensi budaya Jawa dan sebagai sumber inspirasi bagi orang asing dalam memahami budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa.

Kata kunci: kearifan lokal, budaya Jawa, bahan ajar

Pendahuluan

Budaya Jawa mempunyai peranan penting dalam budaya Indonesia, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa menjadi salah satu pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia. Tidak sedikit kosakata bahasa Jawa menjadi warga bahasa Indonesia. Untuk itu, tidak berlebihan jika bangunan bahasa Indonesia ditopang oleh bahasa Jawa.

Salah satu aspek penting yang tak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal. Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara, Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah

1. mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan, dan

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya


(Ayatrohaedi, 1986:40).


Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Pemahaman tersebut menyatakan bahwa dalam budaya Jawa terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat Jawa semasa masyarakat Jawa tersebut ada. Artinya, kearifan lokal masyarakat Jawa sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu diupayakan wacana alternatif dalam dekonstruksi globalisasi sesuai dengan pemaknaan yang dimunculkan oleh Hoed (2008:107).

Salah satu upaya dalam membantu dekonstruksi globalisasi tersebut dapat dilakukan melalui penggunaan kearifan lokal budaya Jawa sebagai bahan ajar bahasa Indonesia bagi penutur asing. Bahan ajar berbahasa Indonesia yang berbasis pada kearifan lokal perlu dikembangkan. Bahan ajar yang mendukung keterampilan berbahasa Indonesia perlu terus ditambah dan dikembangkan, sehingga pemelajar, selain memiliki bahan ajar yang bervariatif juga semakin banyak mengerti dan memahami apa yang tersirat dalam bahan ajar yang dipelajarinya.

Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui (1) norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3) lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Sartini, 2004).

Manfaat Kearifan Lokal Budaya Jawa sebagai Bahan Ajar

Dalam laman Dikmenjur dikemukakan bahwa bahan ajar merupakan seperangkat materi atau substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif siswa mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Lebih lanjut disebutkan bahwa bahan ajar berfungsi sebagai berikut.


a. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam pemelajaran dan sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada pemelajar.

b. Pedoman bagi pemelajar yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam pemelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya.

c. Alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.


Jadi, bahan ajar dibuat sebagai sarana untuk meningkatkan kemahiran berbahasa pemelajar, sehingga pemelajar menguasai materi tersebut dan berkompeten sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasainya. Untuk itu, keterampilan berbahasa yang merupakan kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran harus menjadi tujuan utama dalam proses ini.

Penggunaan muatan-muatan tertentu dalam mendukung kompetensi pemelajar merupakan pilihan bagi pengajar yang akan disesuaikan dengan situasi dan kondisnya. Akan tetapi, keterampilan berbahasa Indonesia tetap menjadi tujuan utama dalam pengembangan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa tersebut.

Keberhasilan pengajaran  dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah aspek kompetensi kebahasaan. Kompetensi kebahasaan dapat dilihat dari kualitas keterampilan berbahasa pemelajar dalam menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Aspek kedua adalah aspek yang lebih luas yaitu pemahaman budaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Semakin tinggi pemahaman budaya pemelajar terhadap budaya tertentu semakin kecil juga gegar budaya dan semakin tinggi toleransi mereka terhadap budaya tersebut. Jadi, pemahaman budaya yang dibangun dari pemahaman bahan ajar berbasis kearifan lokal, akan sangat membantu pemelajar dalam meningkatkan kompetensi berbahasa.

Dalam konteks yang kedua, metode komunikatif memegang peranan penting dalam proses pembelajaran tersebut. Aspek pemahaman budaya yang digunakan dalam berkomunikasi sangat membantu pencapaian keterampilan berbahasa Indonesia. Semakin tinggi aspek budaya yang mendukung proses tersebut semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pemelajar dalam menguasai bahasa Indonesia. Semakin tinggi pemahaman budaya pemelajar  terhadap budaya Jawa, semakin mudah pula pemelajar tersebut menggunakan bahasa Indonesia khususnya jika berkomunikasi dengan orang Jawa.

Penggunaan aspek kearifan lokal Jawa dalam bahan ajar berarti mengangkat nilai lokal Jawa dalam pemahaman pemelajar. Nilai lokal ini akan menunjukkan identitas dan jati diri orang Jawa dalam kapasitasnya sebagai orang Indonesia. Nilai lokal yang unik akan menjadi sebuah nilai jual dalam komunitas global. Hampir semua nilai lokal Jawa yang masuk dalam nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sumber dan inspirasi untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai kehidupan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal banyak membantu masyarakat dalam mempertahankan hidup.

Telah diketahui bersama bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya. Saat ini belum dilakukan inventarisasi kearifan lokal Jawa secara maksimal. Ada sejumlah manfaat penggunaan kearifan lokal Jawa dalam pemelajaran . Salah satu manfaat pembuatan bahan ajar berbasis kearifan lokal Jawa adalah membantu pemangku kepentingan budaya Jawa dalam melakukan pendataan dan inventarisasi kearifan lokalnya. Semakin banyak dan beragam bahan ajar berbasis kearifan lokal Jawa semakin tinggi sumbangsihnya dalam membantu pemangku kepentingan dalam usaha pendataan dan inventarisasi kearifan lokal tersebut. Pendataan dan inventarisasi kearifan lokal memerlukan usaha yang serius dalam penggaliannya.Tanpa adanya usaha pengumpulan bukan tidak mungkin nilai kearifan lokal Jawa akan semakin terpinggirkan, bahkan anak-anak sebagai ahli waris budaya tidak akan mengenal budaya dan kearifan-kearifannya.

Manfaat lain adalah membantu dalam revitalisasi budaya Jawa dengan cara memberi pemaknaan ulang konsep kearifan tersebut. Kadang kala sebuah kearifan lokal dimaknai sebagai sebuah nilai dari leluhur yang tidak boleh didiskusikan kandungan nilainya. Generasi terdahulu mungkin dapat menerima konsep ini, tetapi generasi saat ini memerlukan logika berpikir dalam menerima nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. Generasi terdahulu masyarakat Jawa mengenal adanya konsep tabu dengan ungkapan ora ilok. Generasi terdahulu faham dan mau mengerti jika orang tuanya mengatakan ora ilok. Akan tetapi, generasi muda saat ini memerlukan logika berpikir untuk menerima konsep-konsep tersebut. Jadi, pembuatan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa merupakan upaya revitalisasi budaya Jawa dengan sarana bahan ajar yang memerlukan pemaknaan ulang, karena pengguna bahan ajar tersebut adalah orang asing.

Pertimbangan berikutnya adalah prioritas penggunaan kearifan lokal sebagai bahan ajar lebih baik didasarkan juga pada tingkat keilmiahannya. Faktor keilmiahan digunakan sebagai dasar pijakan pertimbangan penggunaan materi ini. Untuk itu, tingkat keilmiahan harus tetap dijadikan pertimbangan dalam pembuatan bahan ajar. Boleh saja materi-materi berupa mitos dimunculkan, tetapi hanya sebatas informasi sebagai bahan ajar untuk meningkatkan kompetensi berbahasanya. Jadi, dalam penggunaan bahan ajar ini tetap dibedakan antara penggunaan mitos dan kearifan lokal yang berbasis ilmiah. Pembedanya adalah bentuk penyajian pemaknaan yang muncul dari materi itu.

Manfaat lain yang jauh lebih besar adalah untuk melestarikan budaya Jawa. Menurut Rahyono (2009:9), pemelajaran kearifan lokal mempunyai posisi yang strategis. Posisi strategis itu, antara lain (1) kearifan lokal salah satu pembentuk identitas, (2) kearifan lokal bukan merupakan sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri, dan (5) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Jika hal ini dijadikan panduan dalam menyusun bahan ajar, tentu posisi strategis itu tidak hanya berdampak pada pemilik budaya masyarakat Jawa, tetapi dapat juga berdampak pada pemelajarnya.

Selanjutnya, penyusunan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa selain membantu masyarakat Jawa dalam melestarikan dan merevitalisasi budaya Jawa, kegiatan ini juga sangat bermanfaat bagi orang asing sebagai pemelajar. Salah satu tujuannya adalah untuk membuat materi ajar menjadi menarik. Bagi pemelajar asing mendapat bahan ajar berbasis budaya baru, apalagi materi berupa kearifan lokal merupakan sesuatu yang menarik. Diharapkan dengan keunikan dan sesuatu yang bersifat baru itu akan dapat menambah motivasi pemelajar dalam mengembangkan kompetensi berbahasanya.

Sebagai bahan ajar, materi kearifan lokal budaya Jawa merupakan salah satu media untuk memperkenalkan budaya Indonesia khususnya budaya Jawa. Dengan pemilihan materi yang tepat, diharapkan pemelajaran akan berjalan lebih menarik. Bahan ajar yang berbasis kearifan lokal budaya Jawa akan membuka jendela pemahaman pemelajar , meskipun pemelajar belum pernah ke Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat yang sangat strategis dalam memahami budaya Indonesia. Tentu saja bahan ini harus dikemas semenarik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan pemelajar.

Selain itu, bahan ajar yang berbasis kearifan lokal budaya Jawa akan akan memberikan citra positif masyarakat Indonesia. Teknologi tradisional yang ramah lingkungan, keseimbangan alam, kesopanan, dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal itu akan memberikan gambaran kepada pemelajar bahwa masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa memiliki keunggulan dalam berbagai ranah sejak masa lalu. Kearifan-kearifan itu digunakan oleh masyarakat Jawa dalam melakukan aktivitas hariannya. Kearifan itu memiliki makna yang sangat positif dan berperan dalam pengembangan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, kesan yang baik tentu dapat diambil dari penggunaan bahan ajar ini.

Salah satu pertimbangan penting yang lain, mengapa kearifan lokal budaya Jawa dimunculkan kembali adalah imbauan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memasukkan kearifan lokal dalam prioritas dari Kerangka Aksi Hyogo, yang menitikberatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Salah satu kegiatan utama yang teridentifikasi di bawah prioritas aksi itu berfokus pada pentingnya pengelolaan dan pertukaran informasi, serta menggarisbawahi penggunaan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, dan warisan budaya yang relevan yang dapat dibagikan dan diadaptasi oleh masyarakat di tempat lain. Diangkatnya kearifan lokal budaya Jawa sebagai bahan ajar, berarti juga kita telah membantu imbauan PBB tersebut.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pertimbangan bahwa kearifan lokal budaya Jawa memiliki kandungan nilai-nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai yang dapat memperkaya rasa keadilan, kemampuan bertanggung jawab, kemandirian, kerukunan, kejujuran, kerukunan, dan keteladanan, serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut memang digali dari potensi budaya Jawa yang bersifat lokal, tetapi nilai-nilai tersebut bersifat universal, sehingga dapat dijadikan nilai-nilai umum dan dapat digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan saja.

Contoh kearifan lokal budaya Jawa adalah konsep pranata mangsa. Masyarakat petani dahulu mengenal konsep itu untuk melakukan kegiatan dalam bercocok tanam. Konsep itu ternyata sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak abad ke-17. Hal ini dapat dilihat dari serat Centhini karya Pujangga Pakubuwana V yang memuat konsep tersebut. Dengan konsep itu petani mengetahui kapan harus menanam padi, kapan menanam palawija dan sebagianya. Dengan pranata mangsa petani mengikuti keseimbangan alam sehingga budi daya akan berjalan efektif. Contoh penggunaan pranata mangsa, petani melaksanakan panen pada mangsa ke-9 bertepatan dengan keluarnya ular dan burung pemakan serangga. Ular dan burung merupakan predator bagi tikus dan wereng. Konsep ini akan menghasilkan keseimbangan lingkungan yang efektif.

Gerakan revolusi hijau pada tahun 1950—1980 yang menggeser pemahaman pranata mangsa ternyata berdampak buruk bagi lingkungan. Revolusi hijau yang berdasar pada tiga pilar utama, yaitu sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, serta benih unggul dalam meningkatkan produktivitas ternyata berdampak sangat signifikan dalam peningkatan hasil tanaman pangan, seperti padi. Akan tetapi, dampak terhadap lingkungan akibat revolusi hijau tidak kalah signifikannya. Karena mudahnya irigasi, padi bisa ditanam tiga kali dalam setahun. Hama serangga akan sangat mudah diberantas dengan pestisida. Begitu juga, benih-benih unggul hasil rekayasa genetika begitu mudah dihasilkan. Akhirnya, atas landasan optimalisasi produksi semua dijalankan secara masif tanpa melihat dampak terhadap lingkungan. Padahal penanaman padi berseling palawija, penggunaan air hujan sebagai sarana irigasi, dan penggunaan bibit alami memiliki tujuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan pula. Revolusi hijau menjauhkan para petani dari pranata mangsa. Sebetulnya pranata mangsa mencerminkan kehidupan para petani selaras dengan alam. Revitalisasi pranata mangsa perlu dimunculkan kembali untuk kelangsungan hidup dan keseimbangan alam dengan menyesuaikan kehidupan modern yang ada.

Penggunaan bahan ajar seperti revitalisasi pranata mangsa perlu dikembangkan, agar manfaatnya tidak hanya dipetik oleh masyarakat Jawa juga dapat dipetik oleh orang asing sebagai pemelajar. Bagi masyarakat Jawa, manfaatnya adalah bahwa petani Jawa saat ini harus berpikir ulang dan mulai merevitalisasi konsep pranata mangsa. Bagi pemelajar , bahan ajar ini tentu sangat bermanfaat. Manfaat utama bagi pemelajar adalah pemelajar mendapat bahan atau materi yang baik, yang akan meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia. Manfaat berikutnya, pemelajar mengetahui adanya kandungan kearifan lokal masyarakat Jawa berupa ilmu pengetahuan pertanian yang telah dipelihara masyarakat Jawa sejak dulu. Wacana seperti itu akan menambah pemahaman budaya pemelajar dalam konteks pemelajaran bahasanya.

Dari satu contoh tersebut kiranya perlu dikembangkan bahan-bahan lain yang dapat menambah kekayaan bahan ajar  yang saat ini masih dirasakan sangat terbatas. Berdasarkan penelitian Mustakim (2003), dari 43 buku yang diteliti, terdapat 24 buku (56%) buku yang menyajikan materi sosial budaya Indonesia. Hal itu berarti ada 19 buku (44%) yang belum menyajikan sosial budaya Indonesia secara optimal. Walaupun begitu, dari 19 judul itu sebanyak 11 buku tidak menyajikan sama sekali aspek sosial budaya, sedangkan yang lain ada menyinggungnya, tetapi porsinya sangat sedikit. Dari gambaran itu, dapat dikatakan bahwa materitersebut belum dapat dikatakan menyentuh tujuan pengajaran , karena memang pengajaran itu tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman budayanya, termasuk aspek kearifan lokal budaya tertentu.

Berikut ini beberapa contoh kearifan lokal Jawa yang dapat dijadilkan bahan ajar BIPA.



1. Orang Jawa melakukan upacara wiwitan sebelum panen padi sehingga ada pelajaran untuk membiasakan memilih benih unggul buatannya sendiri sebelum dilakukan pemanenan padi yang akan diperjualbelikan atau untuk konsumsi. Menyiapkan benih unggul adalah sangat penting bagi keberlanjutan usaha tani.

2. Di desa-desa masa lalu Jawa selalu ada tempat yang disebut punden berupa hutan lebat dan disampingnya adalah makam. Segala jenis tanaman yang tumbuh di punden tidak boleh diganggu keberadaannya kecuali untuk dilestarikan dan dikembangkan. Punden biasanya memberi manfaat pada kelestarian sumber air dan ketersediaan plasma nutfah lokal.

3. Petani Mataraman tempo dulu wajib untuk membudidayakan tanaman terpadu yang berupa kombinasi jenis oyod-oyodan, kekayon, gegodhongan, kekembangan, woh-wohan, dan gegedhangan. Jika hal tersebut dilakukan maka kebutuhan pangan, bahan bakar, perumahan, obat-obatan, dan harum-haruman akan dapat dipenuhi dari lingkungannya sendiri.

4. Penyuburan tanah dan tanaman serta pengendalian hama-penyakit tanaman biasa dilakukan dengan memanfaatkan doa, lelaku dan menggunakan alat dan bahan hayati lokal.

5. Masyarakat pedesaan biasa memanfaatkan tanaman-tanaman lokal untuk berbagai keperluan adat, kesehatan, asesoris, dan lain-lain.

6. Masyarakat desa yang masih memiliki hutan, biasa menanam aneka tanaman umbi-umbian yang dapat  tumbuh subur tanpa harus menebang pohon di atasnya.

7. Masyarakat biasa menanam aneka tanaman koro-koroan untuk penyubur tanah dan sumber pangan kaya protein.

8. Orang Jawa memantang membakar tanaman kelor yang setelah diteliti ternyata tanaman kelor akan kehilangan unsur hara penyubur daun bila dibakar.

9. Orang desa biasa mengolah hasil umbi-umbian untuk berbagai keperluan dengan tanpa pewarna, pengawet, dan bumbu penyedap karena ternyata unsur unsur tersebut sudah ada secara alami.

10. Pesan nenek moyang, jika ingin kuat bertahan hidup maka kita harus menanam aneka tanaman yang sifatnya uripan, Jika ingin berdiri kokoh maka kita harus bertanam oyod-oyodan atau umbi-umbian.



Penutup

Pemelajaran kearifan lokal terutama di jawa tidak bisa dipisahkan dengan budaya Indonesia. Salah satu pilar budaya Indonesia didukung oleh budaya Jawa. Oleh karena itu, penggunaan bahan ajar BIPA berbasis pada budaya Jawa adalah langkah yang harus dikembangkan. Pengembangan bahan ajar berbasis kearifan lokal budaya Jawa tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Jawa, juga banyak bermanfaat bagi pemelajar. Selain pemelajar berkompetensi dalam berbahasa Indonesia, pemelajar juga memahami isi materi bahan ajar yang didalamnya banyak terkandung nilai-nilai arif masyarakat Jawa.

Saat ini diperlukan upaya yang serius untuk mengembangkan bahan ajar dalam rangka pengembangan pengajaran kearifan lokal. Tentu bahan ajar berbasis kearifan lokal ini harus dikemas secara menarik dan disesuaikan dengan tingkat pemelajarnya.

Daftar Pustaka

♦ Ayatrohaedi.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius.,Jakarta:
   Pustaka Jaya.

♦ Duryatmo, Sardi. 2010. “Kalender Warisan Leluhur”. Jakarta: Trubus
   edisi 487 Juni 2010/XLI.

♦ Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok:
   Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

♦ Mayani, Luh Anik. 2008. “Kemanfaatan Bahan Ajar BIPA Tingkat
   Pemula”. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

♦ Mustakim. 2003. “Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran
   BIPA”. Dalam Nyoman Riasa dan Danise     Finney (Editor). Prosiding
   Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
   Asing IV. Denpasar: Indonesian Australia Language Foundation (IALF).

♦  Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama
   Widyasastra.

♦ Sartini. 2004 “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian
   Filsafati. Jurnal Filsafat UGM, Jilid 37, Nomor 2.

♦ Shaw, Rajib, Noralene Uy, dan Jennifer Baumwoll. 2008. “Kearifan
   Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana”. Diakses dari
   www.unisdr.org.

♦ Sutarto, Ayu. 2010. “Kearifan Lokal untuk Pembelajaran Bahasa dan
   Sastra” Dalam Sunu Catur Budiyoso dan M. Lutfi Baihaqi (Editor).
   Prosiding Seminar Internasional Identitas Masyarakat Multikultural di
   Era Global. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana, Balai Bahasa
   Surabaya, HPBI.

♦ The Common European Framework of Reference for Languages.
   Language Policy Division, Council of Europe, Strasbourg. Cambridge
   University Press. Diakses dari www.uk.cambridge.org/elt.

♦ Widjajaputra, Bima. 2008. ”Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis
   Kearifan Lokal dan Hak-Hak Anak”, dalam Rambu-Rambu Pelaksanaan
   Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal dan Hak-Hak Anak. Bantul: SD
   Sendangsari.

♦ Widiyanto, Hidayat. 2010. “Penguatan Lembaga Bahasa Indonesia bagi
   Penutur Asing (BIPA): Upaya Peningkatan Bahasa Indonesia sebagai
   Bahasa Internasional”. Prosiding Seminar Internasional Bahasa dan
   Sastra 2010. Mataram: Balai Bahasa Nusa Tenggara Barat.

♦ Widiyanto, Hidayat. 2011. “Kearifan Lokal sebagai Bahan Ajar Bahasa
   Indonesia bagi Penutur Asing”. Proceedings International Seminar:
   Language Maintenance and Shift. Semarang:Master’s Program
   Linguistic, Diponegoro University.

Thursday, October 5, 2017

Tugas Hakim dan Jaksa

Hakim

Tugas utama hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya. Dalam perkara perdata,hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan dan rintangan agar terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
selain itu , hakim memiliki tugas dan wewenang dalam:

  • Menetapkan hasil sidang.
  • Membuat catatan pinggir pada berita acara putusan Pengadilan Negeri mengenai hukum yang dianggap penting.
  • Dalam hal Pengadilan Tinggi melakukan Pemerikasaan tambahan untuk mendengarkan sendiri para pihak dan saksi, maka Hakim bertanggung jawab atas pembuatan kebenaran berita acara persidangan serta menandatanganinya.
  • Mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
  • Menyiapkan dan memaraf naskah putusan lengkap untuk ucapan.
  • Hakim wajib menandatangani putusan yang sudah diucapkan dalam persidangan.
  • Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di Pengadilan Negeri yang ditugaskan kepadanya serta meneruskan kepustakaan hukum yang diterima dari Mahkamah Agung kepada Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan



JPU(Jaksa Penuntut Umum)

Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:

  • melakukan penuntutan;
  • melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  • melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  • melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.